BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antropologi secara etimologis
berasal dari bahasa Yunani. Kata Anthropos berarti mansia dan logos berarti
ilmu pengetahuan. Jadi, antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Oleh
karena itu antropologi didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu
pengetahuan sebelumnya.
Pitirim Sorokim mengatakan bahwa
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik
antara aneka macam gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga
dengan moral, hukum dengan ekonomi) dengan gejala lainnya (nonsosial).
Berbeda dengan pendapat Rouceke
dan Warren yang mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan manusia dengan kelompok-kelompok. Nah berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi adalah jelas merupakan ilmu
sosial yang objeknya adalah masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena
telah memiliki unsur ilmu
pengetahuan.
Dalam ilmu antropologi hukum
dipelajari juga mengenai Peran, Status atau kedudukan, Nilai, Norma dan juga
Budaya atau kebudayaan. Kesemuanya ini merupakan hal-hal yang sangat erat
kaitannya dengan ilmu antropologi hukum.Dan semua materi yang akan di pelajari
dari antropologi hukum mempunyai manfaat.
Warsa 1970-an dapat dicatat
sebagai awal dari perkembangan pendidikan ilmu hukum empiris dengan menggunakan
pendekatan sosiologis untuk mengkaji fenomena-fenomena hukum dalam masyarakat
sedang berkembang di Indonesia, yang dikenal kemudian sebagai disiplin
sosiologi hukum (sociology of law). Nama-nama akademisi hukum seperti
Soerjono Soekanto (alm.) dari UI, Satjipto Rahardjo dari UNDIP, dan Sutandyo
Wignyosubroto dari UNAIR dapat dicatat sebagai para perintis pengenalan mata
kuliah sosiologi hukum di fakultas-fakultas hukum di Jawa.
Kemudian, sejak warsa 1980-an
dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia semakin diperkaya dengan pengenalan
studi-studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan antropologis. Untuk
ini, T.O. Ihromi dan Valerine J.L. Kriekhoff dari UI bekerjasama dengan F. von
Benda-Beckmann dari Wageningen Agriculture University the Netherlands dapat
dinobatkan sebagai peletak dasar studi-studi antropologis tentang hukum yang
kemudian dikenal sebagai antropologi hukum (anthropology of law, legal
anthropology, anthropological study of law). Makalah ini mencoba untuk
memberi pemahaman mengenai bagaimana perkembangan antropologi Hukum.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun Rumusan Masalah dari Latar Belakang diatas
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan Antropologi Hukum ?
2. Apa
manfaat – manfaat yang terkandung di dalam antropologi hukum?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui perkembangan Antropologi Hukum
2.
Untuk mengetahui manfaat – manfaat yang terkandung di dalam
antropologi hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A.
perkembangan Antropologi Hukum
Dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin
ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan
menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang
antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada
fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai
antropologi hukum. Antropologi hukum pada dasarnya
mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial
secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi dalam
kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian
sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social
order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis
mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang
berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga
keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial (Pospisil, 1971:x, 1973:538;
Ihromi, 1989:8).
Karena itu, studi antropologis
mengenai hukum secara khusus mempelajari proses-proses sosial di mana
pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, dirobah,
dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat (F.
von Benda-Beckmann, 1979, 1986).
Awal pemikiran antropologis
tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi
dan bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi hukum
biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The
Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang
sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori
evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan hukum, yang
secara ringkas menyatakan: hukum berkembang seiring dan sejalan dengan
perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive),
tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan
modern, dan hukum yang inherent dengan masyarakat semula menekankan pada
status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak (Nader,
1965; Roberts, 1979; Krygier, 1980; Snyder, 1981).
Tema kajian pada fase awal
studi-studi teoritis mengenai hukum dengan pendekatan antropologis lebih
difokuskan pada fenomena hukum dalam masyarakat bersahaja (primitive),
tradisional (traditional), dan kesukuan (tribal) dalam skala
evolusi bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang mengiringi perkembangan
masyarakat manusia. Sedangkan, metode kajian yang digunakan untuk memahami
fenomena hukum dalam masyarakat adalah apa yang dikenal sebagai armchair
methodology, yaitu metodologi untuk memahami hukum dalam perkembangan
masyarakat melalui kajian-kajian yang dilakukan di belakang meja, sambil duduk
di kursi empuk, dalam ruangan yang nyaman, dengan membaca dan menganalisis
sebanyak mungkin documentary data yang bersumber dari catatan-catatan
perjalanan para petualang atau pelancong, dari laporan-laporan berkala dan
dokumen resmi para missionaris, pegawai sipil maupun para serdadu pemerintah
kolonial dari daerah-daerah jajahannya (F. von Benda-Beckmann, 1989).
Pada awal abad ke-20 metode
kajian hukum dari belakang meja mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki
perkembangan metode studi lapangan (fieldwork methodology) dalam
studi-studi antropologis tentang hukum. Karya Barton, misalnya, yang
berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919
merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat suku
Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime
and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada tahun
1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam masyarakat suku
Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampai sekarang metode fieldwork
menjadi metode khas dalam studi-studi antropologi hukum.
Tema-tema kajian yang dominan
pada fase awal perkembangan antropologi hukum berkisar pada
pertanyaan-pertanyaan : apakah hukum itu ? apakah ada hukum dalam
masyarakat yang bersahaja, tradisional, dan kesukuan ?; bagaimanakah hukum
berujud dan beroperasi dalam kehidupan masyarakat ? Pada dekade tahun
1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke
mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat sederhana. Karya
klasik dari Llewellyn dan Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941)
merupakan hasil studi lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum dengan
ahli antropologi dalam masyarakat suku Cheyenne (suku Indian) di Amerika
Serikat.
Kemudian, Hoebel mempublikasikan The
Law of Primitive Man (1954), disusul dengan karya Gluckman mengenai
hukum orang Barotse dan Lozi di Afrika, karya Bohannan mengenai hukum orang
Tiv, karya Gulliver mengenai hukum orang Arusha dan Ndendeuli. Karya Fallers
mengenai hukum dalam masyarakat suku Soga, dan karya Pospisil tentang hukum
orang Kapauku di Papua. Fase perkembangan tema studi antropologi hukum ke arah
mekanisme-mekanisme peneyelesaian sengketa seperti disebutkan di atas disebut
oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of
dispute settlements. Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi
antropologi lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau
pluralisme hukum. Tema pluralisme hukum pertama-tama difokuskan pada
kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi
kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut
hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka.
Karya Bohannan, Gluckman, dan Gulliver misalnya, tidak secara sistematis
memberi perhatian pada eksistensi mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa
menurut hukum kolonial dan hukum negara-negara sedang berkembang.
Sejak tahun 1970-an tema
studi-studi antropologi hukum secara sistematis difokuskan pada hubungan antar
institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional, neo-tradisional,
dan menurut institusi hukum negara. Karya Nader dan Todd (1978) misalnya,
memfokuskan kajiannya pada proses, mekanisme, dan institusi-institusi
penyelesaian sengketa di komunitas masyarakat tradisional dan modern di
beberapa negara di dunia, melalui Berkeley Village Law Projects, menjadi
karya yang memperlihatkan kecenderungan baru dari topik-topik studi antropologi
hukum. Publikasi lain yang perlu dicatat adalah mekanisme penyelesaian sengketa
di kalangan orang Togo di Afrika karya van Rouveroy van Nieuwaal,
kemudian karya F. von Benda-Beckmann (1979) dan K. von Benda-Beckmann (1984)
yang memberi pemahaman tentang penyelesaian sengketa harta warisan di kalangan
orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan di pengadilan negeri di Sumatera
Barat.
Fase selanjutnya studi pluralisme
mekanisme penyelesaian sengketa mulai ditinggalkan, dan mulai diarahkan kepada
studi-studi pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa. Karya Sally F.
Moore (1978) misalnya, mengenai kemajemukan hukum agraris dalam kehidupan suku
Kilimanjaro di Afrika, dan mekanisme dalam proses produksi pabrik garment
terkenal di Amerika dapat dicatat sebagai perkembangan baru studi pluralisme
hukum. Kemudian, studi-studi pluralisme hukum mulai difokuskan pada mekanisme
jaminan sosial (social security), pasar dan perdagangan, mekanisme
irigasi pertanian, institusi koperasi dan perkreditan di daerah pedesaan di
negara-negara sedang berkembang. Studi-studi ini dikembangkan oleh
Agrarian Law Department Wageningen Agriculture University. Fase
perkembangan tema pluralisme hukum yang menyoroti topik-topik penyelesaian
sengketa maupun non penyelesaian sengketa, interaksi antara hukum negara, hukum
rakyat, atau dengan hukum agama disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989)
sebagai fase the anthropology of legal pluralism. Kecenderungan yang
berkembang sejak tahun 1970-an adalah penggunaan pendekatan sejarah dalam
studi-studi antropologi hukum. Studi yang dilakukan Moore (1986), Snyder
(1981), F. von Benda-Beckmann (1979), K. von Benda-Beckmann (1984) misalnya,
secara eksplisit menggunakan kombinasi dimensi sejarah untuk menjelaskan
interaksi institusi hukum negara (state law) dengan hukum rakyat (folk
law) dalam kajian pluralisme hukum penyelesaian sengketa..
B. manfaat – manfaat yang terkandung
di dalam antropologi hukum
Pengertian Antropologi dapat dilihat dari 2 sisi yaitu
Antropologi sebagai ilmu pengetahuan artinya bahwa Antropologi merupakan
kumpulan pengetahuan-pengetahuan tentang kajian masyarakat dan kebudayaan yang
disusun secara sistematis atas dasar pemikiran yang
logis. Dan pengertian Antropologi yang
kedua adalah cara-cara berpikir untuk mengungkapkan realitassosial dan budaya
yang ada dalam masyarakat dengan prosedur dan teori yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Metode
penelitian antropologi hukum :
1. Metode
Ideologis,metode ini dilakukan untuk penelitian penjajahan dengan memperlajari
kaidah-kaidah hukum yg ideal (norma ideal) yg tertulis maupun yg tdk
tertulis.Penelitian ini memperoleh prinsip-prinsip hukum dalam kehidupan masyarakat.
2. Metode
Deskriptif,penelitian ini bersifat penjajahan yang bermaksud untuk mengetahui
bagaimana hukum dlm kenyataannya dapat diterima dalam kehidupan masyarakat.
3. Study Kasus,
biasanya mempelajari kasus-kasus perselisihan kelompok masyarakat, latar
belakang kultur yg menyebabkannya dan rencana solusi penyelesaiannya.
Selain dari metode penelitian diatas.Masih ada metode
pendekatan dalam antropologi hukum.Metode Pendekatan dalam Antropologi Hukum
yaitu:
1. Metode
Historis mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya dgn kacamata sejarah.
Perkembangan karakteristik budaya merupakan awal budaya masyarakat.
2.
Budaya hokum yaitu ide, gagasan, harapan masyarakat
terhadap hokum.
3. Metode
Deskriptif Prilaku menggambarkan perilaku manusia dan budaya hukumnya termasuk
melukiskan / menggambarkan perilaku nyata jika mereka sedang berselisih /
bersengketa. (melihat system hukum mana yg digunakan (hukum adat atau hukum
Negara)
4. Metode Study
Kasus mempelajari kasus-kasus hukum dan penyelesaiaannya yang berkembang dalam
masyarakat. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan alternative
terakhir.
Setiap masyarakat mempunyai persamaan terhadap suatu
perkara, peristiwa, bahkan terhadap ideology dan karena itu yg menjaminnya
dalam suatu kesatuan (komunitas). Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi,
melainkan merupakan budaya yang menyeluruh dari suatu masyarakat tertentu yang
merupakan satu kesatuan sikap dan prilaku.
Dengan mempelajari antropologi hukum ini kita dapat
mengetahui bahwa kemanfaatan antropologi hukum tidak saja dapat dilihat dari
segi kebutuhan tioritis tetapi dilihat juga dari peningkatan mutu berfikir
ilmiah khususnya dilingkungan perguruan tinggi terutama kepada ilmu-ilmu social
dan terkhusus pula yang mempelajari tentang ilmu kemasyarakatan serta ilmu
ilmu-ilmu budaya dan hukum dan terkhusus kepada praktisi-praktisi hukum yaitu
dalam rangka pembangunan hukum pembentukan peraturan-peraturan hukum ,penegakan
serta penerapan hukum dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Manfaat
Antropologi hukum ada 4 manfaat,antaralain:
1.
Manfaat bagi Teoritis
2.
Manfaat bagi praktisi hukum
3.
Manfaat bagi praktisi politik
4.
Manfaat bagi pergaulan masyarakat
1.
MANFAAT BAGI TEORITIS
Para teoritis yang dimaksud adalah ilmuan-ilmuan
mahasiswa ilmu-ilmu social terutama pada sarjana-sarjana ilmu hukum
antropologi.
Ilmu hukum yang lebih banyak mengabdikan diri kepada
kepentingan memajukan ilmu pengetahuan hukum,hukum yang termasuk dalam golongan
ini adalah para tenagaten , staf peneliti ilmiah hukum, para dosen, asisten,
staf pengajar, dan mahasiswa yang lebih banyak berfikir dan berprilaku sebagai
pengamat (toeschower) terhadap kehidupan umum ,beberapa manfaat teoritisnya
yaitu:
1.
Dapat mengetahui pengertian-pengertian hukum yg
berlaku dalam masyarakat sederhana dan modern.
2.
Dapat mengetahui bagaimana masyarakat bisa
mempertahankan nilai-nilai dasar yang dimiliki sekaligus mangetahui bagaimana
masyarakat bisa melakukan perubahan-perubahan terhadap nilai-nilai dasar
tersebut.
3.
Dapat mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat /
pandangan masyarakat atas sesuatu yang seharusnya mereka lakukan.
4.
Dapat mengetahui suku bangsa / masyarakat mana yang
masih kuat / fanatic mempertahankan keberlakuan nilai-nilai budaya mereka.
2.
MANFAAT BAGI PRAKTISI HUKUM
Praktisi hukum yang dimaksud adalah cendikiawan hukum
diatas panggung arena hukum didalam kehidupan masyarakat termasuk dalam
golongan ini seperti pembentuk hukum yaitu seperti DPR, pelaksana hukum seperti
pejabat instansi pemerintah para penegak hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim,
dan termasuk Pengacara advokasi.
3.
MANFAATBAGI PRAKTISI POLITIK
Dimaksudkan praktisi politik adalah aktivis politik
yaitu semua yang dalam pikiran dan perilakunya berperan dalam era politik baik
yang duduk dalam pelaksanaan pemerintah (penyelenggara Negara) maupun yang
berada diluar pemerintahan seperti berada diluar pemerintahan seperti berada
lembaga-lembaga partai, organisasipolitik dll.
4.
MANFAAT BAGI PERGAULAN MASYARAKAT
Dimaksudkan dengan pergaulan didalam masyarakat adalah
bahwa bumi ini bertambah kecil bukan saja radio dan televisi yang sudah sampai
kepedesaan tetapi juga teleponmelalui jaringan hp yang sudah menjamur di
pedesaan sehingga pembicaraan dalam jarak jauh sudah dapat dijangkau dalam
waktu sesigkat mungkin ini adalah semua kemajuan ilmu teknologi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Antropologi
Hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan
perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis.
Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi
budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam
masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum.
fase awal perkembangan antropologi hukum berkisar pada
pertanyaan-pertanyaan : apakah hukum itu ? apakah ada hukum dalam
masyarakat yang bersahaja, tradisional, dan kesukuan ?; bagaimanakah hukum
berujud dan beroperasi dalam kehidupan masyarakat ? Pada dekade tahun
1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke
mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat sederhana.
Fase selanjutnya studi pluralisme mekanisme penyelesaian sengketa mulai
ditinggalkan, dan mulai diarahkan kepada studi-studi pluralisme hukum di luar
penyelesaian sengketa. Karya Sally F. Moore (1978. Setelah di kaji kita dapat
mengemukakan hasilnya bahwa manfaat di dalam antropologi hukum sangat
luas.Antropologi hukum telah memberikan kontribusi yang sangat besar bangi
perkembangan ilmu hukum.Dan kesimpulan yang dapat diambil adalah dimana pun
kita ,kita tidak akan pernah jauh dari hukum selama kita berada di Negara
hukum.
B. Saran
Mungkin
inilah yang diwacanakan pada penulisan kelompok ini meskipun penulisan ini jauh
dari sempurna minimal kita mengimplementasikan tulisan ini. Masih banyak
kesalahan dari penulisan Makalah ini oleh karena itu saran maupun kritikan yang
sifatnya membangun sangat di harapkan guna untuk menyempurnakan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Koentjaraningrat,
“Antropologi Hukum”, dalam Antropologi Indonesia, Majalah Antropologi
Sosial dan Budaya No. 47 Tahun XII 1989, FISIP UI, Jakarta, 1989.
Ø Makalah Pluralisme
Hukum, di susun oleh Perkumpulan Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologis (HuMa), pada tanggal 28-30 Agustus 2003 di Hotel Rudian, Cisarua,
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar