KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Unsur-Unsur Dalam Air Laut Dan Salinitas”. Salam dan
salawat kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang merupakan tauladan bagi kaum
muslimin dimuka bumi ini. Walaupun berbagai macam tantangan yang dihadapi, tapi
semua itu telah memberikan pengalaman yang berharga untuk dijadikan pelajaran
dimasa yang akan datang.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat
tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan
itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada kita sekalian.
Makassar, April 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Judul…………………………………………………………………………..i
Kata
Pengantar…………………………………………………………………………ii
Daftar
Isi………………………………………………………………………………...iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang…………………………………………………………………1
B.
Rumusan Masalah…………………………………………………………….1
C.
Tujuan Penulisan……………………………………………………………...2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Asal-Usul Garam-Garam di Laut…………………………………….3
B.
Devenisi Salinitas……………………………………………………………..4
C.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Salinitas…………………………….4
D.
Sebaran Salinitas Di Laut……………………………………………………6
E.
Model Salinitas………………………………………………………………...9
F.
Hubungan Densitas Ikan Dan Salinitas………………………………….10
G.
Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku
Dan
Kelimpahan Ikan………………………………………………………..11
H.
Penentuan Nilai Salinitas…………………………………………………..15
I.
Desalinisasi………………………………………………………………..…16
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan……………………………………………………………………20
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………..21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber air terbanyak di bumi ini adalah air laut,
namun untuk sampai pada tahap penggunaan sehari-hari tidak bisa langsung
digunakan harus melalui pengolahan terlebih dahulu, mengingat salinitas air
laut sangat tinggi. HYDRO sea water membran dapat mengubah air laut dengan
salinitas tinggi menjadi air tawar untuk penggunaan sehari-hari.
Air laut mengandung 3,5% garam-garaman, gas-gas
terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Keberadaan
garam-garaman mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas,
kompresibilitas, titik beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum)
beberapa tingkat, tetapi tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya
serap cahaya) tidak terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat
yang sangat ditentukan oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar
listrik (konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut
adalah klorida (55%), natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%),
potasium (1%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida,
asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama garam-garaman di laut
adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang
hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asal-usul garam-garam di laut ?
2.
Apa pengertian Salinitas ?
3.
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas ?
4.
Bagaimana sebaran salinitas dilaut ?
5.
Bagaimana model salinitas ?
6.
Apa dan bagaiman hubungan antara densitas ikan dan salinitas ?
7.
Apa pengaruh faktor salinitas di laut pada tingkah laku dan kelimpahan ikan ?
8.
Bagaiman cara menentukan nilai salinitas ?
9.
Apa devenisi desalinisasi ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui asal-usul garam-garam di laut ?
2.
Untuk mengetahui pengertian Salinitas ?
3.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas ?
4.
Untuk mengetahui sebaran salinitas dilaut ?
5.
Untuk mengetahui model salinitas ?
6.
Untuk mengetahui hubungan antara densitas ikan dan salinitas ?
7.
Untuk mengetahui pengaruh faktor salinitas di laut pada tingkah laku dan
kelimpahan ikan ?
8.
Untuk mengetahui cara menentukan nilai salinitas ?
9.
Untuk mengetahui devenisi desalinisasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Asal-Usul Garam-Garam Di Laut
Mula-mula diperkirakan bahwa zat-zat kimia yang
menyebabkan air laut asin berasal dari darat yang dibawa oleh sungai-sungai
yang mengalir ke laut, entah itu dari pengikisan batu-batuan darat, dari tanah
longsor, dari air hujan atau dari gejala alam lainnya, yang terbawa oleh air
sungai ke laut. Jika hal ini benar tentunya susunan kimiawi air sungai tidak
akan berbeda dengan susunan kimiawi air laut.
Menurut teori, zat-zat garam tersebut berasal dari
dalam dasar laut melalui proses outgassing, yakni rembesan dari kulit
bumi di dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut. Bersama gas-gas
ini, terlarut pula hasil kikisan kerak bumi dan bersama-sama garam-garam ini
merembes pula air, semua dalam perbandingan yang tetap sehingga terbentuk garam
di laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang masa. Artinya kita tidak
menjumpai bahwa air laut makin lama makin asin.
Zat-zat yang terlarut yang membentuk garam, yang
kadarnya diukur dengan istilah salinitas dapat dibagi menjadi empat kelompok,
yakni:
1.
Konstituen utama
: Cl, Na, SO4, dan
Mg.
2.
Gas
terlarut
: CO2, N2, dan O2.
3.
Unsur
Hara
: Si, N, dan P.
4.
Unsur
Runut
: I, Fe, Mn, Pb, dan Hg.
Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat
terlarut dalam air laut, sedangkan sisanya 0,3% terdiri dari ketiga kelompok
zat lainnya. Akan tetapi meskipun kelompok zat terakhir ini sangat kecil
persentasenya, mereka banyak menentukan kehidupan di laut. Sebaliknya kepekatan
zat-zat ini banyak ditentukan oleh aktivitas kehidupan di laut.
Selain zat-zat terlarut ini, air juga mengandung
butiran-butiran halus dalam suspense. Sebagian dari zat ini akhirnya terlarut,
sebagian lagi mengendap ke dasar laut dan sisanya diurai oleh bakteri menjadi
zat-zat hara yang dimanfaatkan tumbuhan untuk fotosintesis.
B.
Definisi Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air. Salinitas juga dapat mengacu pada
kandungan garam dalam tanah. Kandungan garam pada sebagian besar danau, sungai, dan saluran air alami sangat kecil
sehingga air di tempat ini dikategorikan sebagai air tawar. Kandungan
garam sebenarnya pada air ini, secara definisi, kurang dari 0,05%. Jika lebih
dari itu, air dikategorikan sebagai air payau atau
menjadi saline bila konsentrasinya 3 sampai 5%. Lebih dari 5%, ia
disebut brine.
C.
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Salinitas
1.
Penguapan, makin besar tingkat penguapan air laut di
suatu wilayah, maka salinitasnya tinggi dan sebaliknya pada daerah yang rendah
tingkat penguapan air lautnya, maka daerah itu rendah kadar garamnya.
2.
Curah hujan, makin besar/banyak curah hujan di suatu
wilayah laut maka salinitas air laut itu akan rendah dan sebaliknya makin
sedikit/kecil curah hujan yang turun salinitas akan tinggi.
3.
Banyak sedikitnya sungai yang bermuara di laut tersebut, makin banyak sungai
yang bermuara ke laut tersebut maka salinitas laut tersebut akan rendah, dan
sebaliknya makin sedikit sungai yang bermuara ke laut tersebut maka
salinitasnya akan tinggi.
Air laut secara alami merupakan air saline
dengan kandungan garam sekitar 3,5%. Beberapa danau garam di daratan dan beberapa lautan
memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut umumnya. Sebagai contoh, Laut Mati memiliki
kadar garam sekitar 30%. Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar
garam sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya. Yang paling
tawar adalah di timur Teluk Finlandia dan di utara Teluk Bothnia, keduanya
bagian dari Laut Baltik. Yang paling asin adalah di Laut Merah, di mana suhu
tinggi dan sirkulasi terbatas membuat penguapan tinggi dan sedikit masukan air
dari sungai-sungai. Kadar garam di beberapa danau dapat lebih tinggi lagi.
Tabel 1. Salinitas air berdasarkan persentase garam
terlarut
Salinitas Air Berdasarkan
Persentase Garam Terlarut
|
|||
Air Tawar
|
Air Payau
|
Air Saline
|
Brine
|
< 0.05 %
|
0.05 – 3 %
|
3 – 5 %
|
> 5 %
|
Zat terlarut meliputi garam-garam anorganik,
senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas yang
terlarut. Garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut adalah klorida
(55,04%), natrium (30,61%), sulfat (7,68%), magnesium (3.69%), kalsium (1,16%),
kalium (1,10%) dan sisanya (kurang dari 1%) teridiri dari bikarbonat, bromida,
asam borak, strontium dan florida. Tiga sumber utama dari garam-garaman di laut
adalah pelapukan batuan di darat, gas-gas vulkanik dan sirkulasi lubang-lubang
hidrotermal (hydrothermal vents) di laut dalam. Keberadaan garam-garaman
mempengaruhi sifat fisis air laut (seperti: densitas, kompresibilitas, titik
beku, dan temperatur dimana densitas menjadi maksimum) beberapa tingkat, tetapi
tidak menentukannya. Beberapa sifat (viskositas, daya serap cahaya) tidak
terpengaruh secara signifikan oleh salinitas. Dua sifat yang sangat ditentukan
oleh jumlah garam di laut (salinitas) adalah daya hantar listrik
(konduktivitas) dan tekanan osmosis.
Kandungan garam mempunyai pengaruh pada sifat-sifat
air laut. Karena mengandung garam, titik beku air laut menjadi lebih rendah
daripada 0 0C (air laut yang bersalinitas 35 %o titik bekunya -1,9 0C),
sementara kerapatannya meningkat sampai titik beku (kerapatan maksimum air
murni terjadi pada suhu 4 0C). Sifat ini sangat penting sebagai penggerak
pertukaran massa air panas dan dingin, memungkinkan air permukaan yang dingin
terbentuk dan tenggelam ke dasar sementara air dengan suhu yang lebih hangat
akan terangkat ke atas. Sedangkan titik beku dibawah 00 C
memungkinkan kolom air laut tidak membeku. Sifat air laut yang dipengaruhi
langsung oleh salinitas adalah konduktivitas dan tekanan osmosis.
Istilah teknik untuk keasinan lautan adalah halinitas,
dengan didasarkan bahwa halida-halida terutama klorida adalah anion yang paling banyak dari
elemen-elemen terlarut. Dalam oseanografi, halinitas
biasa dinyatakan bukan dalam persen tetapi dalam “bagian perseribu” (parts
per thousand , ppt) atau permil (‰), kira-kira sama dengan jumlah gram
garam untuk setiap liter larutan.
Sebelum tahun 1978, salinitas atau halinitas
dinyatakan sebagai ‰ dengan didasarkan pada rasio konduktivitas elektrik sampel
terhadap “Copenhagen water”, air laut buatan yang digunakan sebagai
standar air laut dunia. Pada 1978, oseanografer meredifinisikan salinitas dalam
Practical Salinity Units (psu, Unit Salinitas Praktis): rasio
konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar. Rasio tidak
memiliki unit, sehingga tidak bisa dinyatakan bahwa 35 psu sama dengan 35 gram
garam per liter larutan.
Tabel 2. Perbedaan kandungan garam dan ion utama
antara air laut dan air sungai
NAMA UNSUR
|
% jumlah berat seluruh gram
|
|
AIR LAUT
|
AIR SUNGAI
|
|
Klorida
|
55,04
|
5,68
|
Natrium
|
30,61
|
5,79
|
Sulfat
|
7,68
|
12,14
|
Magnesium
|
3,69
|
3,41
|
Kalsium
|
1,16
|
20,29
|
Kalium
|
1,10
|
2,12
|
Bikarbonat
|
0,41
|
-
|
Karbonat
|
-
|
35,15
|
Brom
|
0,19
|
-
|
Asam borak
|
0,07
|
-
|
Strontium
|
0,04
|
-
|
Flour
|
0,00
|
-
|
Silika
|
-
|
11,67
|
Oksida
|
-
|
2,75
|
Nitrat
|
-
|
0,90
|
D.
Sebaran Salinitas di Laut
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, aliran sungai.
Perairan estuaria atau daerah sekitar kuala dapat mempunyai struktur salinitas
yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air tawar yang relatif
lebih ringan dan air laut yang lebih berat, juga pengadukan air sangat
menentukan.
Pertama adalah perairan dengan stratifikasi salinitas
yang sangat kuat, terjadi di mana air tawar merupakan lapisan yang tipis di
permukaan sedangkan di bawahnya terdapat air laut. Ini bisa ditemukan di depan
muara sungai yang alirannya kuat sedangkan pengaruh pasang-surut kecil. Nelayan
atau pelaut di pantai Sumatra yang dalam keadaan darurat kehabisan air tawar
kadang-kadang masih dapat menyiduk air tawar di lapisan tipis teratas dengan
menggunakan piring, bila berada di depan muara sungai besar.
Kedua, adalah perairan dengan stratifikasi sedang. Ini
terjadi karena adanya gerak pasang-surut yang menyebabkan terjadinya pengadukan
pada kolom air hingga terjadi pertukaran air secara vertikal. Di permukaan, air
cenderung mengalir keluar sedangkan air laut merayap masuk dari bawah. Antara
keduanya terjadi percampuran. Akibatnya garis isohalin (=garis yang
menghubungkan salinitas yang sama) mempunyai arah yang condong ke luar. Keadaan
semacam ini juaga bisa dijumpai di beberapa perairan estuaria di Sumatra.
Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula
melakukan pengadukan di lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen kira-kira
setebal 50-70 m atau lebih bergantung intensitas pengadukan. Di perairan
dangkal, lapisan homogen ini berlanjut sampai ke dasar. Di lapisan dengan
salinitas homogen, suhu juga biasanya homogen. Baru di bawahnya terdapat
lapisan pegat (discontinuity layer) dengan gradasi densitas yang tajam yang
menghambat percampuran antara lapisan di atas dan di bawahnya.
Di bawah lapisan homogen, sebaran salinitas tidak
banyak lagi ditentukan oleh angin tetapi oleh pola sirkulasi massa air di
lapisan massa air di lapisan dalam. Gerakan massa air ini bisa ditelusuri
antara lain dengan mengakji sifat-sifat sebaran salinitas maksimum dan
salinitas minimum dengan metode inti (core layer method).
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas
daerah subtropis hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan bertambah
secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di daerah subtropis (atau semi
tropis, yaitu daerah antara 23,5o – 40oLU atau 23,5o
– 40oLS), salinitas di permukaan lebih besar daripada di kedalaman
akibat besarnya evaporasi (penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000
meter harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara monotonik terhadap
kedalaman. Sementara itu, di daerah tropis salinitas di permukaan lebih rendah
daripada di kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).
1. Dinamika
Salinitas di Daerah Estuaria
Estuaria adalah perairan muara sungai semi tertutup
yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi
dapat bercampur dengan air tawar. Estuaria dapat terjadi pada lembah-lembah
sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan laut yang naik (misalnya
pada zaman es mencair) atau pun karena turunnya sebagian daratan oleh
sebab-sebab tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada muara-muara sungai
yang sebagian terlindungi oleh beting pasir atau lumpur.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan
menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi,
antara lain:
a) Tempat
bertemunya arus air tawar dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan
suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri
fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.
b) Pencampuran kedua
macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak
sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.
c) Perubahan yang terjadi akibat adanya
pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis
dengan lingkungan sekelilingnya.
d) kadar garam di daerah estuaria
tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus
lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.
2. Sifat-sifat Ekologis
Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar,
salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria,
ataupun menurut waktu.
Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada
bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang
terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada
garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah
daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar
cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam.
Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’ (salt wedge
estuary).
Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi
berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada
estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah
gurun pada musim kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih tinggi
daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat
mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian
tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradien
salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada “estuaria positif’’.
Dalam pada itu, dinamika pasang surut air laut sangat
mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria.
Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria.
Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air
dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria
berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau
pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari
darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan
air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada
kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban.
E.
Model Salinitas
”Model Salinitas” adalah suatu penggambaran atas kadar
garam yang terdapat pada air, baik kandungan atau perbedaannya sehingga untuk
tiap daerah dimungkinkan terdapat perbedaan ”model salinitas”nya.
Perubahan salinitas dipengaruhi oleh pasang surut dan
musim. Ke arah darat, salinitas muara cenderung lebih rendah. Tetapi selama
musim kemarau pada saat aliran air sungai berkurang, air laut dapat masuk lebih
jauh ke arah darat sehingga salinitas muara meningkat. Sebaliknya pada musim
hujan, air tawar mengalir dari sungai ke laut dalam jumlah yang lebih besar
sehingga salinitas air di muara menurun.
Perbedaan salinitas dapat mengakibatkan terjadinya
lidah air tawar dan pergerakan massa di muara. Perbedaan salinitas air laut
dengan air sungai yang bertemu di muara menyebabkan keduanya bercampur
membentuk air payau. Karena kadar garam air laut lebih besar, maka air laut
cenderung bergerak di dasar perairan sedangkan air tawar di bagian permukaan.
Keadaan ini mengakibatkan terjadinya sirkulasi air di muara.
Aliran air tawar yang terjadi terus-menerus dari hulu
sungai membawa mineral, bahan organik, dan sedimen ke perairan muara. Di
samping itu, unsur hara terangkut dari laut ke daerah muara oleh adanya gerakan
air akibat arus dan pasang surut. Unsur-unsur hara yang terbawa ke muara
merupakan bahan dasar yang diperlukan untuk fotosintesis yang menunjang
produktifitas perairan. Itulah sebabnya produktifitas muara melebihi
produktifitas ekosistem laut lepas dan perairan tawar. Lingkungan muara yang
paling produktif di jumpai di daerah yang ditumbuhi komunitas bakau.
F.
Hubungan Densitas Ikan Dengan Salinitas
Salinitas dipengaruhi oleh massa air oseanis di bagian
utara hingga bagian tengah perairan, dan massa air tawar dari daratan yang
mempengaruhi massa air di bagian selatan dan bagian utara dekat pantai. Kondisi
ini mempengaruhi densitas ikan, dan kebanyakan kelompok ikan yang ditemukan
dengan densitas tinggi (0,9 ikan/mł) pada daerah bagian selatan dengan
salinitas antara 29,36-31,84 %, dan densitas 0,4 ikan/mł di bagian utara
dengan salinitas 29,97-32,59 % . Densitas ikan tertinggi pada lapisan kedalaman
5-15 m (0,8 ikan/mÅ‚) ditemukan pada daerah dengan salinitas ≥31,5 % yaitu pada
bagian utara perairan. Dibagian selatan, densitas ikan tertinggi sebesar
0,6-0,7 ikan/mÅ‚ ditemukan pada daerah dengan salinitas ≤30,0 %. Pola pergeseran
nilai salinitas hampir sama di tiap kedalaman, dengan nilai yang makin
bertambah sesuai dengan makin dalam perairan. Pada lapisan kedalaman 15-25 m,
kisaran salinitas meningkat hingga lebih dari 32 %, dan konsentrasi densitas
ikan ditemukan lebih dari 0,4 ikan/mł dengan areal yang lebih besar pada
konsentrasi salinitas ≤31,5 %. Konsentrasi ikan yang ditemukan pada daerah
dengan salinitas ≥32,0 %, yaitu di bagian utara perairan sebesar 0,2-0,3
ikan/mł.
Pada lapisan kedalaman 25-35 m dan 35-45 m dijumpai
kisaran salinitas yang hampir sama yaitu 31,43-32,53 % dan 31,77-32,73 %,
dengan distribusi densitas ikan lebih banyak ditemukan pada daerah dengan salinitas
32,0-32,5 % yaitu sebesar 0,1-0,8 ikan/mł, dan kelompok ikan dengan densitas
lebih kecil dari 0,1 ikan/mł banyakditemukan pada perairan dengan salinitas
≤32,0 %. Pada lapisan kedalaman 35-45 m, konsentrasi densitas ikan makin
berkurang. Densitas tertinggi di lapisan ini hanya sebesar 0,17 ikan/mł, atau
rata-rata densitas ikan yang ditemukan di bawah 0,1 ikan/mł. Hal ini sesuai
dengan ukuran ikan yang terdeteksi, yang umumnya merupakan ikan-ikan berukuran
kecil. Dimana lebih condong terkonsentrasi pada daerah permukaan dan dekat
pantai.
G.
Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku Dan Kelimpahan Ikan.
1.
Suhu air laut
Ikan adalah hewan berdarah dingin, yang suhu tubuhnya
selalu menyesuaikan dengan suhu sekitarnya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa
ikan mempunyai kemampuan untuk mengenali dan memilih range suhu tertentu
yang memberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas secara maksimum dan pada
akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan distribusinya. Pengaruh suhu terhadap ikan
adalah dalam proses vertikall, seperti pertumbuhan dan pengambilan makanan,
aktivitas tubuh, seperti kecepatan renang, serta dalam rangsangan syaraf. Pengaruh
suhu air pada tingkah laku ikan paling jelas terlihat selama pemijahan. Suhu
air laut dapat mempercepat atau memperlambat mulainya pemijahan pada beberapa
jenis ikan. Suhu air dan arus selama dan setelah pemijahan adalah faktor-faktor
yang paling penting yang menentukan “kekuatan keturunan” dan daya tahan larva
pada spesies-spesies ikan yang paling penting secara komersil. Suhu ekstrim
pada daerah pemijahan (spawning ground) selama musim pemijahan dapat
memaksa ikan untuk memijah di daerah lain daripada di daerah tersebut.
Perubahan suhu jangka panjang dapat mempengaruhi perpindahan tempat pemijahan (spawning
ground) dan fishing ground secara vertikal.
Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan
hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena pengaruh angin,
maka di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m terjadi pengadukan,
hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28°C) yang ertical.
Oleh sebab itu lapisan teratas ini sering pula disebut lapisan vertikal. Karena
adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal
lagi. Di perairan dangkal lapisan vertikal ini sampai ke dasar. Lapisan
permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan
tipis dengan perubahan suhu yang cepat yang disebut termoklin atau lapisan
diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena
percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai
lapisan percampuran (mixed layer). Mixed layer mendukung
kehidupan ikan-ikan pelagis, secara pasif mengapungkan plankton, telur ikan,
dan larva, sementara lapisan air dingin di bawah termoklin mendukung kehidupan
hewan-hewan bentik dan hewan laut dalam.
Pada saat terjadi penaikan massa air (upwelling), lapisan
termoklin ini bergerak ke atas dan gradiennya menjadi tidak terlalu tajam
sehingga massa air yang kaya zat hara dari lapisan dalam naik ke lapisan
atas.jangka pendek dari kedalaman termoklin dipengaruhi oleh pergerakan
permukaan, pasang surut, dan arus. Di bawah lapisan termoklin suhu menurun
secara perlahan-lahan dengan bertambahnya kedalaman.
Kedalaman termoklin di dalam lautan Hindia mencapai
120 meter. Menuju ke selatan di daerah arus equatorial selatan, kedalaman
termoklin mencapai 140 meter.
2.
Pengaruh arus
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan
lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara
langsung pada arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yang
terletak garis mendatar pada tubuh ikan. Mechanoreceptoradalah reseptor
yang ada pada vertikal yang mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam
lingkungan seperti gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu
mengarah menuju arus. Fishing ground yang paling baik biasanya terletak
pada daerah batas antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi.
Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang
lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan
distribusi lingkungan bagi ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada
kondisi ini. Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada
pada tengah-tengah arus eddies. Akumulasi plankton, telur ikan juga
berada di tengah-tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan
dengan pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddi (melalui rantai makanan).
3.
Pengaruh cahaya
Ikan bersifat fototaktik baik secara positif maupun
vertikal. Banyak ikan yang tertarik pada cahaya buatan pada malam hari, satu
fakta yang digunakan dalam penangkapan ikan. Pengaruh cahaya buatan pada ikan
juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan lain dan pada beberapa spesies
bervariasi terhadap waktu dalam sehari. Secara umum, sebagian besar ikan
pelagis naik ke permukaan sebelum matahari terbenam. Setelah matahari terbenam,
ikan-ikan ini menyebar pada kolom air, dan tenggelam ke lapisan lebih dalam
setelah matahari terbit. Ikan demersal biasanya menghabiskan waktu siang hari
di dasar selanjutnya naik dan menyebar pada kolom air pada malam hari.
Cahaya mempengaruhi ikan pada waktu memijah dan pada
larva. Jumlah cahaya yang tersedia dapat mempengaruhi waktu kematangan ikan.
Jumlah cahaya juga mempengaruhi daya hidup larva ikan secara tidak langsung,
hal ini diduga berkaitan dengan jumlah produksi organik yang sangat dipengaruhi
oleh ketersediaan cahaya. Cahaya juga mempengaruhi tingkah laku larva.
Penangkapan beberapa larva ikan pelagis ditemukan lebih banyak pada malam hari
dibandingkan pada siang hari.
4.
Upwelling
Upwelling adalah penaikan massa air laut dari
suatu lapisan dalam ke lapisan permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air
yang suhunya lebih dingin, salinitas tinggi, dan zat-zat hara yang vertikal
permukaan. Proses upwelling ini dapat terjadi dalam tiga bentuk.
Pertama, pada waktu arus dalam (deep current)
bertemu dengan rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu sistem ridge bagian
tengah lautan) di mana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air
mengalir deras ke permukaan.
Kedua, ketika dua massa air bergerak berdampingan,
misalnya saat massa air yang di utara di bawah pengaruh gaya coriolis dan massa
air di selatan ekuator bergerak ke selatan di bawah pengaruh gaya coriolis
juga, keadaan tersebut akan menimbulkan “ruang kosong” pada lapisan di
bawahnya. Kedalaman di mana massa air itu naik tergantung pada jumlah massa air
permukaan yang bergerak ke sisi ruang kosong tersebut dengan kecepatan arusnya.
Hal ini terjadi karena adanya divergensi pada perairan laut tersebut.
Ketiga, upwelling dapat pula disebabkan oleh
arus yang menjauhi pantai akibat tiupan angin darat yang terus-menerus selama
beberapa waktu. Arus ini membawa massa air permukaan pantai ke laut lepas yang
mengakibatkan ruang kosong di daerah pantai yang kemudian diisi dengan massa
air di bawahnya.
Meningkatnya produksi perikanan di suatu perairan
dapat disebabkan karena terjadinya proses air naik (upwelling). Karena gerakan
air naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas yang tinggi
dan tak kalah pentingnya zat-zat hara yang kaya seperti fosfat dan nitrat naik
ke permukaan. Selain itu proses air naik tersebut disertai dengan produksi
plankton yang tinggi.
Di perairan Selat Makasar bagian selatan diketahui
terjadi upwelling. Proses terjadinya upwelling tersebut
disebabkan karena pertemuan arus dari Selat Makasar dan Laut Flores bergabung
kuat menjadi satu dan mengalir kuat ke barat menuju Laut Jawa. Dengan kondisi
demikian dimungkinkan massa air di permukaan di dekat pantai Ujung Pandang
secara cepat terseret oleh aliran tersebut dan untuk menggantikannya massa air
dari lapisan bawah naik ke atas. Proses air naik di Selat Makasar bagian
selatan ini terjadi sekitar Juni sampai September dan berkaitan erat dengan
sistem arus. Air laut di lapisan permukaan umumnya mempunyai suhu tinggi,
salinitas, dan kandungan zat hara yang rendah. Sebaliknya pada lapisan yang
lebih dalam air laut mempunyai suhu yang rendah, salinitas, dan kandungan zat
hara yang lebih tinggi.
Pada waktu terjadinya upwelling, akan terangkat
massa air dari lapisan bawah dengan suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat
hara yang tinggi. Keadaan ini mengakibatkan air laut di lapisan permukaan
memiliki suhu rendah, salinitas, dan kandungan zat hara yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan massa air laut sebelum terjadinya proses upwelling ataupun
massa air sekitarnya. Sebaran suhu, salinitas, dan zat hara secara vertical
maupun horizontal sangat membantu dalam menduga kemungkinan terjadinya upwelling
di suatu perairan. Pola-pola sebaran oseanografi tersebut digunakan untuk
mengetahui jarak vertikal yang ditempuh oleh massa air yang terangkat. Sebaran
suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat dipergunakan
untuk mengetahui terjadinya proses upwelling di suatu perairan.
Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan
suhu permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan daerah
sekitarnya. Tingginya kadar zat hara tersebut merangsang perkembangan
fitoplankton di permukaan. Karena perkembangan fitoplankton sangat erat
kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses air naik selalu
dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer di suatu perairan dan
selalu diikuti dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut. Upwelling
di perairan Indonesia dijumpai di Laut Banda, Laut Arafura, selatan Jawa
hingga selatan Sumbawa, Selat Makasar, Selat Bali, dan diduga terjadi di Laut
Maluku, Laut Halmahera, Barat Sumatra, serta di Laut Flores dan Teluk Bone. Upwelling
berskala besar terjadi di selatan Jawa, sedangkan berskala kecil terjadi di
Selat Bali dan Selat Makasar. Upwelling di perairan Indonesia bersifat
musiman terjadi pada Musim Timur (Mei-September), hal ini menunjukan adanya
hubungan yang erat antara upwelling dan musim.
H.
Penentuan Nilai Salinitas
Ciri yang paling khas pada air laut yang diketahui
oleh semua orang adalah rasanya yang asin. Ini disebabkan karena di dalam air
laut terlarut bermacam-macam garam, yang paling utama adalah garam natrium
korida (NaCl) yang sering pula disebut garam dapur. Selain garam-garam korida,
di dalam air laut terdapat pula garam-garam magnesium, kalsium, kalium dan
sebagainya. Dalam literatur oseanologi dikenal istilah salinitas (acapkali pula
disebut kadar garam atau kegaraman) yang maksudnya ialah jumlah berat semua
garam (dalam garam) yang terlarutdalam satu liter air, biasanya dinyatakan
dengan satuan 0/00 (per mil, gram per liter).
Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara
kimia maupun fisika. Secara kimia untuk menentukan nilai salinitas
dilakukan dengan cara menghitung jumlah kadar klor dalam sample air laut. Hal
ini dilakukan karena sangat susah untuk menentukan salinitas senyawa terlarut
secara keseluruhan. Oleh sebab itu hanya dilakukan peninjauan pada komponen
terbesar yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902
sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut jika semua
halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini mencerminkan proses kimiawi
titrasi untuk menentukan kandungan klorida.
Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah
total dalam gram bahan-bahan terlarut dalam satu kilogram air laut jika semua
karbonat dirubah menjadi oksida, semua bromida dan yodium dirubah menjadi
klorida dan semua bahan-bahan organik dioksidasi. Selanjutnya hubungan antara
salinitas dan klorida ditentukan melalui suatu rangkaian pengukuran dasar
laboratorium berdasarkan pada sampel air laut di seluruh dunia dan dinyatakan
sebagai: S (o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo) (1902) Lambang o/oo (dibaca per mil)
adalah bagian per seribu. Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35
gram garam di dalam satu kilogram air laut. Persamaan tahun 1902 di atas akan
memberikan harga salinitas sebesar 0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan
hal ini sangat menarik perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam sampel
air yang digunakan untuk pengukuran laboratorium. Oleh karena itu, pada tahun
1969 UNESCO memutuskan untuk mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara
klorinitas dan salinitas dan memperkenalkan definisi baru yang dikenal sebagai
salinitas absolut dengan rumus: S (o/oo) = 1.80655 Cl (o/oo) (1969) Namun
demikian, dari hasil pengulangan definisi ini ternyata didapatkan hasil yang
sama dengan definisi sebelumnya.
Definisi salinitas ditinjau kembali ketika tekhnik
untuk menentukan salinitas dari pengukuran konduktivitas, temperatur dan
tekanan dikembangkan. Sejak tahun 1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu
Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S, sebagai
rasio dari konduktivitas. “Salinitas praktis dari suatu sampel air laut
ditetapkan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada
temperatur 15oC dan tekanan satu standar atmosfer terhadap larutan kalium
klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah 0,0324356 pada temperatur dan
tekanan yang sama. Rumus dari definisi ini adalah: S = 0.0080 – 0.1692 K1/2 +
25.3853 K + 14.0941 K3/2 – 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2 Sebagai catatan: dari
penggunaan definisi baru ini, dimana salinitas dinyatakan sebagai rasio, maka
satuan o/oo tidak lagi berlaku, nilai 35o/oo berkaitan dengan nilai 35 dalam
satuan praktis. Beberapa oseanografer menggunakan satuan “psu” dalam menuliskan
harga salinitas, yang merupakan singkatan dari “practical salinity unit”.
Karena salinitas praktis adalah rasio, maka sebenarnya ia tidak memiliki
satuan, jadi penggunaan satuan “psu” sebenarnya tidak mengandung makna apapun
dan tidak diperlukan.
Kemudian untuk menghitung nilai salinitas secara fisik
adalah ini untuk menentukan salinitas melalui konduktivitas air laut. Alat-alat
elektronik canggih menggunakan prinsip konduktivitas. Salah satu alat yang
paling popular untuk mengukur salinitas dengan ketelitian tinggi ialah
salinometer yang bekerjanya didasarkan pada daya hantar listrik. Makin besar
salinitas, makin besar pula daya hantar listriknya. Selain itu telah pula
dikembangkan pula alat STD (salinity-temperature-depth recorder) yang apabila
diturunkan ke dalam laut dapat dengan otomatis membuat kurva salinitas dan suhu
terhadap kedalaman di lokasi tersebut.
I.
Desalinisasi
Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan
untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air garam hingga level tertentu
sehingga air dapat digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan,
yaitu umpan berupa air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah,
dan konsentrat bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya merupakan
air dengan kandungan garam terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan
untuk keperluan domestik, industri, dan pertanian. Hasil sampingan dari proses
desalinasi adalah brine. Brine adalah larutan garam
berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35000 mg/l garam terlarut).
Distilasi merupakan metode desalinasi yang paling lama
dan paling umum digunakan. Distilasi adalah metode pemisahan dengan cara
memanaskan air laut untuk menghasilkan uap air, yang selanjutnya dikondensasi
untuk menghasilkan air bersih. Berbagai macam proses distilasi yang umum
digunakan, seperti multistage flash, multiple effect distillation, dan vapor
compression umumnya menggunakan prinsip mengurangi tekanan uap dari air
agar pendidihan dapat terjadi pada temperatur yang lebih rendah, tanpa
menggunakan panas tambahan.
Metode lain desalinasi adalah dengan menggunakan
membran. Terdapat dua tipe membran yang dapat digunakan untuk proses
desalinasi, yaitu reverse osmosis (RO) dan electrodialysis (ED).
Pada proses desalinasi menggunakan membran RO, ialah sebuah istilah teknologi
yang berasal dari osmosis. Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalam sel
hidup di mana molekul “solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah
“solute” rendah ke daerah “solute” tinggi melalui sebuah membran
“semipermeable”. Membran “semipermeable” ini menunjuk ke membran sel atau
membran apa pun yang memiliki struktur yang mirip atau bagian dari membran sel.
Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai sebuah konsentrasi yang seimbang
tercapai di kedua sisi membrane. Reverse osmosis dapat diartikan proses
pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute”
tinggi melalui sebuah membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan
menggunakan sebuah tekanan melebihi tekanan osmotik.
Dalam istilah lebih mudah, reverse osmosis adalah
mendorong sebuah solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu
sisi dan membiarkan pendapatan “solvent” murni dari sisi satunya. air pada
larutan garam dipisahkan dari garam terlarutnya dengan mengalirkannya melalui
membran water-permeable. Permeate dapat mengalir melalui membran akibat adanya
perbedaan tekanan yang diciptakan antara umpan bertekanan dan produk, yang
memiliki tekanan dekat dengan tekanan atmosfer. Sisa umpan selanjutnya akan
terus mengalir melalui sisi reaktor bertekanan sebagai brine. Proses ini
tidak melalui tahap pemanasan ataupun perubahan fasa. Kebutuhan energi utama
adalah untuk memberi tekanan pada air umpan. Desalinasi air payau membutuhkan
tekanan operasi berkisar antara 250 hingga 400 psi, sedangkan desalinasi air
laut memiliki kisaran tekanan operasi antara 800 hingga 1000 psi.
Dalam praktiknya, umpan dipompa ke dalam container
tertutup, pada membran, untuk meningkatkan tekanan. Saat produk berupa air
bersih dapat mengalir melalui membran, sisa umpan dan larutan brine
menjadi semakin terkonsentrasi. Untuk mengurangi konsentrasi garam terlarut
pada larutan sisa, sebagian larutan terkonsentrasi ini diambil dari container
untuk mencegah konsentrasi garam terus meningkat.
Sistem RO terdiri dari 4 proses utama, yaitu:
1.
Pretreatment: Air umpan pada tahap pretreatment disesuaikan
dengan membran dengan cara memisahkan padatan tersuspensi, menyesuaikan pH, dan
menambahkan inhibitor untuk mengontrol scaling yang dapat
disebabkan oleh senyawa tetentu, seperti kalsium sulfat.
2.
Pressurization: Pompa akan meningkatkan tekanan dari umpan yang sudah
melalui proses pretreatment hingga tekanan operasi yang sesuai dengan
membran dan salinitas air umpan.
3.
Separation: Membran permeable akan menghalangi aliran garam
terlarut, sementara membran akan memperbolehkan air produk terdesalinasi
melewatinya. Efek permeabilitas membran ini akan menyebabkan terdapatnya dua
aliran, yaitu aliran produk air bersih, dan aliran brine terkonsentrasi.
Karena tidak ada membran yang sempurna pada proses pemisahan ini, sedikit garam
dapat mengalir melewati membran dan tersisa pada air produk. Membran RO
memiliki berbagai jenis konfigurasi, antara lain spiral wound dan hollow
fine fiber membranes.
4.
Stabilization: Air produk hasil pemisahan dengan membran biasanya
membutuhkan penyesuaian pH sebelum dialirkan ke sistem distribusi untuk dapat
digunakan sebagai air minum. Produk mengalir melalui kolom aerasi dimana pH
akan ditingkatkan dari sekitar 5 hingga mendekati 7.
Dua metode yang paling banyak digunakan adalah Reverse
Osmosis (47,2%) ialah sebuah istilah teknologi yang berasal dari osmosis.
Osmosis adalah sebuah fenomena alam dalm sel hidup di mana molekul
“solvent” (biasanya air) akan mengalir dari daerah “solute” rendah ke daerah
“solute” tinggi melalui sebuah membran “semipermeable”. Membran “semipermeable”
ini menunjuk ke membran sel atau membran apa pun yang memiliki struktur yang
mirip atau bagian dari membran sel. Gerakan dari “solvent” berlanjut sampai
sebuah konsentrasi yang seimbang tercapai di kedua sisi membrane. Reverse
osmosis dapat diartikan proses pemaksaan sebuah solvent dari daerah konsentrasi “solute”
tinggi melalui sebuah membran ke sebuah daerah “solute” rendah dengan
menggunakan sebuah tekanan melebihi tekanan osmotik. Dalam istilah lebih mudah, reverse
osmosis adalah mendorong sebuah solusi melalui filter yang menangkap “solute” dari satu
sisi dan membiarkan pendapatan “solvent” murni dari sisi satunya. Proses ini
telah digunakan untuk mengolah air laut untuk
mendapatkan air tawar, sejak awal
1970-an
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah “Unsur-Unsur Dalam Air
Laut dan Salinitas” yaitu :
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi salinitas :
a. Penguapan
b. Curah hujan
c. Banyak sedikitnya sungai yang
bermuara dilaut
3.
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan, curah hujan, aliran sungai.
4.
Model Salinitas adalah suatu penggambaran atas kadar garam yang terdapat pada
air, baik kandungan atau perbedaannya sehingga untuk tiap daerah dimungkinkan
terdapat perbedaan ”model salinitas”nya.
5.
Pengaruh Faktor Salinitas Di Laut Pada Tingkah Laku Dan Kelimpahan Ikan:
a. Suhu air laut
b. Pengaruh arus
c. Pengaruh cahaya
d. upwelling
6.
Ada berbagai cara menentukan salinitas, baik secara kimia maupun fisika.
Secara kimia untuk menentukan nilai salinitas dilakukan dengan cara
menghitung jumlah kadar klor dalam sample air laut. Hal ini dilakukan karena
sangat susah untuk menentukan salinitas senyawa terlarut secara keseluruhan.
7.
Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan
garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat
digunakan. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa
air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat
bersalinitas tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Nontji, A. , 2007. LAUT NUSANTARA. Jakarta :
Djambatan.
Romimohtarto,
K. dan Juwana, S. 2007. BIOLOGI LAUT : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.
Jakarta : Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar