MENGINTIP SEJARAH, TRADISI & KEINDAHAN PULAU "BATU BERBUNGA"
LUKISAN PURBA DI DINDING GUA Di
pulau yang terbentuk sejak 1,8 juta tahun silam ini lukisan-lukisan prasejarah
masih dapat dilihat di liang-liang hunian manusia purba pada saat lampau.
Metanduno disebut gua bagi kaum laki-laki karena di dalamnya terdapat lukisan
objek-objek bertanduk. Adapun Kabori disebut gua perempuan karena di dalamnya
terdapat lukisan perempuan. PERJALANAN di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang
saya lakukan beberapa waktu lalu itu memang menyimpan `harta terpendam' yang
tak pernah lepas dari ingatan. Salah satunya ialah bukti kehidupan manusia
prasejarah yang masih jelas terlihat di sana, yaitu dalam bentuk lukisanlukisan
yang tergurat di dinding gua-gua batu. Gua-gua prasejarah itu berada di Desa
Liangkabori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Desa itu dapat
ditempuh lewat perjalanan darat selama sekitar 50 menit dari Kota Raha, ibu
kota Kabupaten Muna. Dari Raha, perjalanan dilakukan dengan melintasi jalan
poros Raha-Watoputeh sepanjang 17 kilometer hingga tiba di Desa Mabodo. Dari
Desa Mabodo, Desa Liangkabori berjarak sekitar 5 kilometer. Setelah pengunjung
memasuki gerbang desa, dengan spontan masyarakat setempat mengarahkan wisatawan
menuju rumah La Hada, 70. Dia merupakan pemandu sekaligus penjaga gua. Di
rumahnya yang sederhana, La Hada menyambut sembari mempersilakan saya dan
rombongan duduk di teras. Dia lalu menyodorkan buku lusuh berisi ratusan nama
pengunjung yang pernah bertandang. Beberapa nama berkebangsaan asing tertulis
di sana. Dengan mengenakan kemeja putih bergarisgaris hitam, topi cokelat, dan
tas selempang berwarna-warni, La Hada menuntun kami meneruskan perjalanan.
Masih ada 3 kilometer lagi yang harus kami lintasi untuk tiba di lokasi gua-gua
peninggalan prasejarah, di jalan berbatu sempit yang hanya cukup dilewati satu
mobil. Pemandangan bukit karst terhampar sepanjang perjalanan hingga di pintu
masuk kompleks gua. Rumah-rumah penduduk setempat yang kami lewati berpagarkan
batubatu kapur yang ditumpuk. Menurut La Hada, hanya sebagian dari puluhan gua
di Desa Liangkabori yang masih dia ingat. Ia cuma mengingat 10 gua dan ceruk
yang di dalamnya tertoreh lukisan, juga 23 gua lain yang tanpa lukisan.
“Gua-gua tersebut adalah tempat tinggal mereka,“ ujar La Hada. Dia lalu
menyebut 10 gua yang terdapat lukisan. Ke-10 gua itu ialah Metanduno yang
berisi 310 lukisan, Liangkabori (130), Lakolambu (60), Toko (58), Wabose (48),
La Tanggara (7), Pamisa (300), Lasaba (35), Pinda (50), serta Sugi Patani (7).
Sementara itu, gua-gua tanpa lukisan yang masih diingat La Hada di antaranya
liang Kantinale, Kawe, Kantaweri, Palola, dan Watotoru. Gua induk Berdasarkan
penelitian, gambar-gambar yang dilukis di dalam dinding-dinding gua di sana
dibuat pada abad ke-12. Bahannya, terang La Hada, campuran tanah liat dan getah
pohon. Letak antargua di sana saling berdekatan, kecuali Sugi Patani. Nama-nama
gua pun diciptakan berdasarkan lukisan yang ditemui di dalamnya dan bentuk gua.
Metanduno, misalnya, disebut gua bagi kaum laki-laki karena di dalamnya
terdapat lukisan objek-objek bertanduk. Adapun Kabori disebut gua perempuan
karena di dalamnya terdapat lukisan perempuan. Metanduno dan Kabori, ungkap La
Hada, merupakan liang atau gua induk karena ukuran mereka paling luas. Gua yang
pertama dijumpai saat pelancong memasuki kompleks gua ialah Metanduno.
Langit-langit di dalamnya mencapai 5 meter dengan lebar mencapai 10 meter. Di
dinding dan langit-langit gua itu tertera lukisan-lukisan hewan dan manusia.
Lukisan itu salah satunya menggambarkan sekawanan manusia yang sedang berburu di
kaki gunung. Di atasnya terlukis tiga matahari. Selintas, saya pun tersentil.
Apa benar mitos yang menyatakan bahwa dulu matahari lebih dari satu? Usil
Sementara itu, salah satu sudut langit-langit dekat mulut gua terlihat berwarna
hitam legam, yang berbeda dari warna dinding gua. Itu, La Hada menjelaskan,
diperkirakan merupakan perapian yang dinyalakan para penghuni gua untuk
membunuh dingin yang menyergap pada malam hari. Di dalam gua pun terdapat mata
air. Aliran airnya ditampung pada cekungan batu. Hingga saat saya melihatnya,
air masih terus mengalir memenuhi batu yang berfungsi sebagai bak penampungan.
Dengan jarak sekitar 20 meter dari Metanduno, Liang (gua) Kabori menganga. Di
dalamnya tak beda jauh dari suasana Metanduno. Sayang seribu sayang, lukisan-lukisan
prasejarah di dalam gua itu terusik oleh tangantangan usil pengunjung lain.
Goresan-goresan yang kebanyakan berupa huruf-huruf Latin tertera di beberapa
bagian dinding gua. Para pelaku mungkin tidak paham sama sekali tentang
keberadaan lukisan prasejarah di gua, sampai-sampai enggan kalah dan ikut-ikut
menorehkan gambar dan tulisan di sana. Layang-layang Berjarak sekitar 2
kilometer dari Metanduno, juga menganga Gua Sugi Patani. Ia terletak lebih
tinggi daripada gua-gua lain. Di dalamnya dapat ditemukan lukisan manusia
bermain layanglayang. La Hada berkisah, Pulau Muna tempat dia bermukim itu
diyakini sebagai tempat lahirnya permainan layang-layang. Layang-layang konon
dibuat oleh salah satu penguasa Muna yang bernama Sugi Patani sebelum Kerajaan
Muna dibentuk sekitar 4.000 tahun silam. La Hada rupanya punya pangkal dari
ceritanya itu. Ia lalu menunjukkan sebuah buku berjudul Muna, Island of the
First Kiteman. Dalam buku itu, si penulis yang berkebangsaan asing mematahkan
perkiraan sebelumnya yang menyatakan bahwa permainan layang-layang lahir
pertama kali di China 2.400 tahun yang lalu. -----------------------------
MENGINTIP SEJARAH PULAU "BATU BERBUNGA" PULAU Muna merupakan sebuah
pulau kecil di sebelah tenggara Sulawesi. Ia termasuk Kabupaten Muna, Provinsi
Sulawesi Tenggara. Awalnya Pulau Muna dikenal dengan nama ‘wuna’, yang dalam
bahasa setempat berarti ‘bunga’. Nama itu diambil dari gugusan batu karang yang
sewaktu-waktu mengeluarkan tunas-tunas baru yang tumbuh seperti bunga karang.
Itu yang kemudian membuat warga Muna menyebutnya ‘kontu kowuna’, artinya ‘batu
berbunga’. Gugusan batu berbunga tersebut terletak di dekat masjid tua bernama
Bahutara (bahtera). Menurut legenda masyarakat, di tempat itulah kapal
Sawerigading Putra Raja Luwu dari Sulawesi Selatan terdampar. Dalam hasil
penelitian yang tercatat di Museum Karst Indonesia di Wonogiri, Jawa Tengah,
disebut hampir seluruh kawasan Pulau Muna tersusun dari batu gamping masa
pleistosen--antara 1,8 juta dan 11.500 tahun yang lalu. Batu gamping itu
merupakan terumbu karang yang terangkat dari dasar laut akibat desakan dari
bawah dan membentuk tebingtebing batu gamping alias karst yang sa ngat luas.
Untuk mencapai Pulau Muna, ada dua alternatif perjalanan. Pertama, menggunakan
kapal laut, dan kedua, menggunakan pesawat perintis. Apabila melalui laut,
perjalanan dimulai dari Pelabuhan Nusantara, Kendari, menuju Pelabuhan Raha di
Kota Raha, ibu kota Kabupaten Muna, dengan waktu tempuh sekitar 4 jam. Jika
menggunakan pesawat perintis, perjalanan dimulai dari Bandara Wolter
Monginsidi, Kendari, menuju Bandara Sugimanuru yang terletak sekitar 25 km dari
Raha. ---------------- ADU KUDA, UNJUK KEJANTANAN DEMI PUJAAN HATI MATAHARI
hampir mencapai ubun-ubun di alun-alun Kota Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara, beberapa waktu lalu. Gulu dan Kaboga, dua kuda jantan, tengah
bertarung sengit. Keduanya saling menggigit dan menendang. Ringkikan menyelingi
saat hantaman lawan mendarat di wajah. Pertarungan dua kuda jantan itu bukan
berlangsung di atas ring, melainkan di lapangan terbuka yang luas. Puluhan
penonton tampak tegang menyaksikan laga sambil sesekali merekam pertarungan
menggunakan telepon seluler. Beberapa penonton berlarian saat kuda yang tengah
berkelahi beranjak ke dekat mereka. Tidak sedikit pula penonton yang memilih
menyaksikan pertandingan dari atas pohon agar mendapat pemandangan yang bagus
sekaligus terhindar dari amukan kuda yang salah sasaran. Sebenarnya Gulu dan
Kaboga bukanlah kuda laga. Mereka juga bukan kuda balap yang berpostur tinggi
tegap dan berotot. Mereka ialah kuda-kuda yang biasa digunakan dalam keseharian
masyarakat Raha. Gulu dan Kaboga sebetulnya bapak dan anak. Pada awal
pertarungan, keduanya disandingkan berdekatan dengan dua kuda betina. Ringkikan
mulai beradu. Sesaat kemudian, adu jotos pun terjadi. “Ya, enggak binatang,
enggak manusia, kalau sudah masalah perempuan pasti berkelahi,“ seru Ode
Halili, pemilik salah satu kuda, sambil tertawa. Agar meriah Adu kuda merupakan
tradisi yang sudah lama digelar di Raha. Dahulu kala, adu kuda, yang dalam
bahasa Raha disebut pogiraha adara, dihelat hanya saat pesta perayaan panen.
Namun kini, adu kuda diselenggarakan untuk penyambutan tamu dan acara-acara
tertentu. Sejak lama kuda sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Raha. Salah
satunya berfungsi sebagai alat transportasi sebelum hadirnya kendaraan
bermotor. Setiap hari kuda-kuda Raha dengan setia mengantar para petani dari
rumah ke sawah atau kebun. Saat tiba masa panen, kuda jualah yang mengangkut
hasil-hasil panen tersebut ke lumbung. Nyatanya kuda menyumbang jasa besar
dalam kehidupan masyarakat setempat. Namun lewat adu kuda, hewan-hewan itu
seperti disodorkan untuk terluka. “Bukannya kami tidak tahu terima kasih dan
tidak sayang kepada kuda-kuda yang telah membantu pekerjaan kami. Kami terpaksa
mengesampingkan rasa sayang kami untuk sesaat agar pesta panen yang hanya
dilaksanakan setahun sekali dapat berlangsung meriah,“ ujar Tiworo, pemilik
kuda lain. Seusai pertandingan, kuda yang terluka diobati dengan racikan khusus
yang terbuat dari campuran arang baterai dan minyak tanah. Setelah racikan
turun-temurun tersebut dioleskan pada bagian kuda yang cedera, dalam hitungan
menit saja, luka-luka tersebut pun mulai mengering. -------------------------
MEMANJAKAN MATA DI NAPABALE HARI sudah gelap saat saya tiba di tepian Danau
Napabale, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Tenda-tenda
digelar di sana dan saya bersama beberapa rekan pun bermalam. Sinar mentari
pagi pada keesokan hari menyeruak ke dalam tenda diiringi suara
ketinting--perahu bermesin--yang bersahutan menyambut har baru. Mereka
meninggalkan dermaga lalu menembus permukaan laut. Cantik betul pemandangan
pagi di Napabale. Dalam bahasa setempat, Napabale berarti `pantai janur'. Danau
Napabale di Sulawesi Tenggara menyuguhkan pesona wisata danau berair asin.
Sebentang terowongan alam menghubungkannya dengan Teluk Muna. i Sumber air
mengalir langsung dari Teluk Muna yang dihubungkan melalui terowongan alam
sepanjang 30 meter dan lebar 9 meter. Saat laut pasang, terowongan tertutup
air. Air di Danau Napabale asin. Pasalnya, sumber air mengalir langsung dari
Teluk Muna yang dihubungkan melalui terowongan alam sepanjang 30 meter dan
lebar 9 meter. Saat laut surut, terowongan itu dapat dilalui perahu. Namun,
ketika laut pasang, terowongan tertutup air. Pagi itu air danau diselimuti
warna hijau lembut. Gugusan batu karang yang ditumbuhi pepohonan terlihat bak
pulau-pulau kecil yang tersebar di tengah danau. Airnya jernih sehingga dasar
danau pun terlihat jelas dari permukaan. Napabale menyuguhkan dua pesona wisata
alam sekaligus, yakni danau dan pantai. Pelancong bisa berenang atau menyusuri
keindahan danau dengan menggunakan perahu yang disewakan para nelayan. Satu
yang perlu dicoba ialah melintasi terowongan dan berlabuh di pantai yang
bersebelahan dengan danau. Di sana, pelancong bisa bermain ombak atau sekadar
bersantai di tepi pantai. Menurut cerita rakyat setempat, pernah ditemukan
seorang gadis cantik terdampar di dalam terowongan pada abad ke-15. Warga
melaporkan kejadian itu kepada raja di Kerajaan Muna. Raja pun jatuh hati pada
sang gadis dan meminangnya menjadi permaisuri. Danau Napabale bisa dicapai
dengan menggunakan taksi atau ojek motor selama sekitar 20 menit dari Kota
Raha, ibu kota Kabupaten Muna, yang jaraknya hanya sekitar 15 kilometer.
Alternatif lain, Alternatif lain, pelancong bisa menggunakan ketinting dari
Pelabuhan Raha dan tiba di Danau Napabale dalam 15 menit. Di kawasan itu belum
ada fasilitas penginapan. Jadi, pelancong yang ingin bermalam harus membawa
perlengkapan berkemah dan alat-alat memasak. Apabila enggan bermalam ala
petualang di dalam tenda, pelancong bisa menginap di beberapa penginapan di
Kota Raha dengan harga terjangkau. dar
http://etalasefotoberita.blogspot.com/2013/03/mengintip-sejarah-tradisi-keindahan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar