BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai
aparatur negara mempunyai posisi sangat strategis dan peranan menentukan dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Sebagai aparatur negara, PNS
berkewajiban menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan dengan penuh
kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan
pemerintah. Untuk itu, PNS sebagai pelaksana perundang-undangan wajib berusaha
untuk taat pada setiap peraturan perundang-undangan di dalam melaksanakan tugas
kedinasan. Pemberian tugas kedinasan kepada PNS pada dasarnya merupakan
kepercayaan dari atasan yang berwenang, dengan harapan bahwa tugas itu akan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, setiap PNS wajib
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab.
Pemerintah melalui PP Nomor 30 Tahun 1980
Tentang Peraturan Disiplin PNS, memberikan pembinaan kepada PNS yang diarahkan
untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara
berdaya guna dan berhasil guna, melalui atau berdasarkan sistem karir dan
sistem prestasi kerja, yang dilakukan secara bertahap sejak pengangkatan,
penempatan, pendidikan dan latihan, pemindahan, penghargaan, serta
pemberhentian, dengan selalu mengacu kepada kode etik dan peraturan disiplin
yang diberlakukan. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan
kinerja sumber daya aparatur.
. Komisi Kepegawaian Negara sebagai
lembaga yang menangani masalah sengketa kepegawaian dan diharapkan dapat
memperjuangkan hak-hak PNS, hingga saat ini belum terbentuk, walaupun
keberadaan komisi tersebut telah dituangkan dalam pasal 13 UU No. 43/1999
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sementara KORPRI sendiri hingga saat ini belum
mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kepegawaian. Sekalipun
demikian, pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan suatu lembaga yang
khusus bertugas menangani sengketa kepegawaian, sebagaimana dapat dilihat dalam
pasal 35 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, yang mengatur tentang “Peradilan
Kepegawaian“. Karena sengketa kepegawaian menurut Sastro Djatmiko 1 , juga
dapat timbul disebabkan penugasan oleh atasan dengan tugas tertentu, percepatan
dan pensiunan pegawai, izin perkawinan, . Sastro Djatmiko, “ Hukum
Kepegawaian di Indonesia “, Djambatan, Jakarta, 1990, hlm. 48-52, lihat juga
Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, ada 8 (delapan) sub bidang dalam
rangka pelaksanaan pembinaan PNS. perceraian dengan menyangkut hak-hak salah
satu pihak, serta pemberian izin-izin lainnya. Selanjutnya, menurut Sastro
Djatmiko, sengketa dibidang kepegawaian dalam penggolongannya yang lebih
fleksibel, di bagi tiga yaitu : dalam hal keberatan terhadap suatu hukuman
disiplin, dalam hal keberatan terhadap daftar pernyataan kecakapan tempat, dan
dalam susunan kepangkatan . Itulah sebabnya, penyelesaian sengketa kepegawaian
sedapat mungkin dilakukan dalam lingkup unit kerja di instansi yang
mengeluarkan keputusan hukuman disiplin tingkat berat berupa “pemberhentian
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan tidak dengan hormat sebagai
PEGAWAI NEGERI SIPIL” oleh pimpinan atau pejabat pembina kepegawaian baik di
tingkat pusat maupun daerah. Bila hal ini terjadi, dapat ditempuh upaya banding
administratif melalui gugatan sesuai mekanisme hukum yang berlaku yaitu melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
B.
Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini maka permasalahan
yang hendak dijawab adalah:
1. Bagaimana
analisa kasus peradilan kepegawaian yang terjadi pada Drs. Muh. Arsad , M.M.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.
Untuk mengetahui sistem peradilan
tata usaha negara
2.
Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam peradilan
tata usaha negara khususnya dalam penyelesaian sengketa kepegawaian
3.
Untuk
menyelesaikan tugas Peradilan Tata Usaha Negara
D.
Manfaat
Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
Ilmu hukum umumnya dan khususnya menyumbangkan bekal pengetahuan mengenai Hukum
Tata Usaha Negara lebih rinci mengenai kepegawaian.
B
AB II
PEMBAHASAN
A.
Kasus
- Bahwa saya adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar yang diberhentikan dari jabatan tanpa alasan yang sah oleh Bupati Kepulauan Selayar pada tanggal 5 Oktober 2010 dengan Keputusan Bupati Kepulauan Selayar Nomor : 821.2/160/X/BKD/2010 tanggal 05 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Sdr. Drs. MUH. ARSAD, MM NIP 19650805 198503 1 022 Pangkat Pembina Tk. I Golongan Ruang IV/b Jabatan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar (foto copy SK terlampir).
- Bahwa saya tidak menerima/keberatan atas pemberhentian dari jabatan tersebut karena tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Kepegawaian yaitu Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural dan Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, serta Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, sehingga pada tanggal 20 Oktober 2010 saya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dan terdaftar dengan Nomor Perkara : 58/G.TUN/2010/PTUN Mks tanggal 20 Oktober 2010 (foto copy Gugatan terlampir).
- Bahwa pada saat memasuki sidang dengan agenda Pengajuan Bukti-Bukti, Bupati Kepulauan Selayar selaku TERGUGAT di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar mengajukan “bukti palsu” berupa foto copy “kwitansi penerimaan uang oleh sdr. ROS MERY dari sdr. BAU IMANG senilai Rp.20.000.000 (Dua puluh juta rupiah)” untuk pembayaran pengurusan database dengan menempel tanda tangan saya sebagai pihak yang mengetahui pada bagian kiri bawah dari kwitansi tersebut. Sedangkan pada kwitansi asli tidak terdapat pihak yang mengetahui beserta tanda tangan saya (foto copy kwitansi asli dan kwitansi palsu terlampir).
- Bahwa pada tanggal 20 Desember 2010 saya telah melaporkan Bupati Kepulauan Selayar sebagai Tergugat atas pemalsuan kwitansi yang diajukan sebagai bukti di PTUN Makassar ke POLDA Sul-Sel dan tercatat dengan Tanda Bukti Lapor Nomor : LPB/334/XII/2010/SPK tanggal 20 Desember 2010, dan telah diproses oleh Kasat II Ekonomi Dit Reskrim Polda Sulsel dengan Penyidik AKBP Deni Hermana, Sik, MSi NRP 70070363 dan KOMPOL Muh. Syukri Hasan, SH sebagai Penyelidik dengan terbitnya Surat Pemberitahuan Hasil Penelitian Laporan Polisi Nomor : B/309/XII/2010/Dit Reskrim tanggal 30 Desember 2010 (foto copy surat terlampir).
- Bahwa pada tanggal 10 Januari 2011 dilakukan Sidang Pembacaan “PUTUSAN PENGADILAN” atas Perkara Nomor 58/G.TUN/2010/PTUN.Mks dan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar memenangkan saya sebagai Penggugat (copy Putusan PTUN terlampir) dan Bupati Kepulauan Selayar sebagai Tergugat mengajukan Banding pada tanggal 13 Januari 2011 dan saat ini proses Banding tersebut sementara berproses di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar.
- Bahwa saat ini Bupati Kepulauan Selayar bersama Sekretaris Daerah telah berusaha memberhentikan saya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mencoba menerapkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil khususnya Pasal 10 angka 9 huruf d “Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 46 (empat puluh enam) hari kerja atau lebih”. Pemberlakuan ketentuan ini terhadap saya dilakukan oleh Bupati dan Sekretaris Daerah dengan alasan bahwa selama saya berperkara di PTUN Makassar atas pemberhentian saya sebagai Kepala BKD Kabupaten Kepulauan Selayar tanpa alasan dianggap tidak melaksanakan tugas sehari-hari sebagai PNS. Terkait dengan alasan ketidakhadiran saya melaksanakan tugas sebagai PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar selama berperkara di PTUN Makassar dapat saya sampaikan kepada Bapak Presiden sebagai berikut :
a.
Jarak antara Makassar sebagai lokasi PTUN tempat saya
berperkara melawan Bupati Kepulauan Selayar selaku Tergugat dengan Kabupaten
Kepulauan Selayar sangat jauh dan dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama
12 jam (sehari), sehingga tidak memungkinkan bagi saya untuk berperkara sambil
melaksanakan tugas sehari-hari sebagai PNS;
b.
Saya telah melakukan konsultasi secara lisan
melalui telepon dengan Deputi Pengendalian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara
(BKN) Bapak Bambang Chrisnadi, SH, M.Si tentang pelaksanaan tugas saya sebagai
PNS dengan memenuhi panggilan PTUN Makassar untuk berperkara, dan beliau
memberikan petunjuk bahwa “memenuhi panggilan Pengadilan adalah kewajiban bukan
pelanggaran disiplin”;
c.
Sebagai PNS, saya telah meminta izin kepada Bupati Kepulauan
Selayar secara tertulis untuk diberikan izin tidak masuk kerja selama
berperkara dengan surat permohonan izin tanggal 24 Oktober 2010 (copy surat
terlampir), tetapi tidak diberikan izin/tidak disetujui oleh Bupati melalui
Sekda dengan surat Nomor : 800/1001/X/2010/ORPEG, tanggal 29 Oktober 2010 (copy
surat terlampir);
d.
Karena permintaan izin ditolak, maka pada
tanggal 9 November 2010, saya memohon agar diberikan hak Cuti saya yaitu Cuti
Besar selama 3(tiga bulan) yang akan saya gunakan selama mengikuti dan
menghadiri sidang-sidang Perkara saya di PTUN Makassar (copy surat terlampir),
tetapi hak Cuti saya juga ditolak oleh Bupati Kepulauan Selayar melalui Kepala
Bagian Organisasi dan Kepegawaian Setda dengan surat penolakan Nomor :
800/441/XI/Orpeg/2010, tanggal 27 Nopember 2010 (copy surat terlampir);
e.
Berdasarkan alasan dan prosedur yang telah saya tempuh
sebagaimana tersebut huruf a sampai dengan huruf d diatas, maka saya
berpendapat bahwa ketidakhadiran saya melaksanakan tugas sebagai PNS tidak dapat
dikategorikan atau tidak termasuk dalam pelanggaran disiplin sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 angka 9 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 karena
alasannya sangat jelas “memenuhi panggilan Pengadilan yaitu PTUN Makassar” dan
“bukan tanpa alasan yang sah” sesuai maksud ketentuan tersebut.
B.
Analisa kasus
1.
Melakukan Penyelesaian di dalam Pemerintahan Sendiri
Kompetensi utama Badan Peradilan
Administrasi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan sengketa administrasi antara
Pemerintah dan warga masyarakat, disebabkan pemerintah telah melanggar hak-hak
kepentingan warga. Peraturan perundang-undangan khususnya pasal 1 angka 4
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan: “Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun
di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Sengketa-sengketa dibidang kepegawaian tidak ditangani langsung oleh suatu
peradilan tetap, namun diselesaikan melalui suatu proses yang mirip dengan
suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh seorang pejabat
yang disebut peradilan semu( Quasi rechtspraak).
Pengertian Peradilan kepegawaian
yang dimaksud adalah serentetan prosedur administrasi yang ditempuh oleh10
pegawai negeri, apabila ia merasa tidak puas dan berkeberatan atas suatu
tindakan berupa keputusan yang dilakukan atasannya (pejabat yang berwenang)
yang merupakan kepentingannya. Dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 Jo Undang-undang No 43 tahun 1999 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Jo UU No
9 tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal sengketa
kepegawaian terlebih dahulu dilakukan prosedur administrasi di lingkungan
pemerintahan sendiri.
Mengenai prosedur penyelesaian
sengketa kepegawaian, diatur lebih lanjut dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi : ayat (1) dalam
hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha
tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia, ayat (2)
pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh
seseorang atau badan hukum apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan tata
usaha negara, yang dilaksanakan dilingkungan11 pemerintahan sendiri. Upaya
administartif itu terdiri dari : (1) Banding administratif, yakni apabila
penyelesaian dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, (2) Keberatan, yakni jika
penyelesaian harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan jika seluruh prosedur itu telah ditempuh, tetapi
ada pihak yang belum merasakan keadilan atau kepuasan, maka persoalannya dapat
digugat dan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara : “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas
dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan di tingkat pertama
sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 “
2. Eksistensi
Pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945
menegaskan bahwa “negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachtstaat). Dengan penjelasan itu, maka
mekanisme kehidupan perorangan masyarakat dan negara, diatur oleh hukum
(tertulis maupun tidak tertulis) hal ini menunjukkan bahwa semua warga negara
termasuk aparatur negara mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum, dengan
demikian aparatur negara di dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan dituntut untuk selalu bersikap dan berprilaku sesuai norma-norma
hukum di dalam memberikan pelayanan serta pengayoman kepada warga masyarakat.
Dalam kaitan ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu
pilar dari negara hukum, karena di satu sisi mempunyai peranan menonjol yaitu
sebagai lembaga kontrol (pengawas) terhadap sikap tindak administrasi negara
supaya tetap berada dalam rel hukum, di sisi lain, sebagai wadah untuk
melindungi hak individu dan warga masyarakat dari tindakan penyalahgunaan
wewenang dan atau tindakan sewenang-wenang administrasi negara. Sebagai lembaga
pengawas (judicial control), ciri-ciri yang melekat pada Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah :
1. Pengawasan yang dilakukan
bersifat “external control “ karena ia merupakan lembaga yang berada diluar
kekuasaan administrasi negara (bestuur)
2. Pengawasan yang dilakukan lebih
menekankan pada tindakanrepresif atau lazim disebut “control a posteriori “
karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol
3. Pengawasan itu bertitik tolak pada
segi “legalitas” karena hanya menilai dari segi hukum (rechtmatig) nya saja.
Fungsi pengawasan PTUN nampaknya sulit dilepaskan dari fungsi perlindungan
hukum bagi masyarakat (individu-individu), karena dapat memposisikan individu
berada pada pihak yang lebih lemah bila berhadapan di pengadilan, sementara
tolok ukur bagi Hakim Administrasi dalam mengadili Sengketa Administrasi Negara
adalah pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara ( sering disebut pasal ‘ payung ‘ atau menghidupkan
kompetensi PTUN diantara pasal-pasal yang lain), yang menentukan alasan-alasan
untuk dapat digunakan dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketentuan
dalam ayat tersebut merupakan juga dasar pengujian (toetsingsgronden) dan dasar
pembatalan bagi hakim dalam menilai apakah keputusan tata usaha negara yang
digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang
digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Sementara itu, isi ketentuan Pasal
53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 dimaksudkan sebagai berikut : Alasan-alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah :
(a).Keputusan Administrasi negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, (b). Keputusan tata usaha negara
yang digugat bertentangan dengan Asas-asas umum pemerintahan yang baik atau
layak (AAUPB/AAUPL)
Dari rumusan di atas, ditemukan asas
larangan “penyalahgunaan wewenang “ dan asas larangan “bertindak tidak
sewenang-wenang “ keduanya termasuk bagian dari Asas asas umum pemerintahan
yang baik ( AAUPB ). Menurut Indroharto 2, urgensi keberadaan Azas asas umum
pemerintahan yang layak ( AAUPL ) yang tersirat dalam pasal 53 ayat (2) UU No.
5 Tahun 1986 adalah, disamping dapat digunakan untuk menggugat juga merupakan
dasar-dasar ( kriteria atau ukuran ) yang digunakan Hakim Administrasi dalam
menguji atau menilai ( toetsingsgronden ) apakah Keputusan Administrasi Negara
( beschikking ) yang disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Lebih
lanjut, Indroharto memerinci dasar-dasar pertimbangan untuk menguji Keputusan
Administrasi Negara yang dapat digugat kedalam empat ukuran, yakni;
(1). Bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
(2). Melanggar larangan detournement
de pouvoir,
(3). Menyimpang dari nalar
yang . Indroharto, “ Asas-asas umum pemerintahan yang baik”, Mahkamah
Agung, Jakarta, 198514 sehat (melanggar larangan willekeur),
(4). Bertentangan dengan Asas-asas
umum pemerintahan yang layak.
Sebenarnya keberadaan ke-empat
kriteria di atas, diformulasikan dari ketentuan Pasal 53 ayat (2) butir a,b.c
yang dibandingkan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Wet AROB dan merupakan
dasar menguji undang-undang oleh Afdeling Rechtspraak raad van Stater terhadap suatu
beschikking yang digugat, namun UU No. 5 Tahun 1986 tidak dengan tegas
mencantumkan Asas asas umum pemerintahan yang layak kedalam salah satu pasalnya
(seperti dalam butir (d) Wet AROB).
Jadi yang perlu diperhatikan dalam
penerapan Asas asas umum pemerintahan yang layak secara konkrit adalah
memperhatikan pandangan-pandangan, ide-ide kondisi yang dianut dalam sistem dan
praktek pemerintahan baik politik, kultural maupun ideologi. Dengan demikian,
Hakim Administrasi perlu berpedoman pada beberapa dasar pertimbangan di atas,
karena para hakim pada saat menerapkan hukum (Asas asas umum pemerintahan yang
layak) bertindak sebagai penemu hukum, pembentuk hukum, pembaharu hukum,
penegak hukum dan sebagai benteng keadilan.
3. evaluasi
perkara
Menurut kelompok kami Dalam Gugatan
yang dilakukan oleh PNS Drs. Muh. Arsad, M.M. terhadap atasannya merupakan
suatu tindakan hukum ( litigasi ) yang umum dilakukan seorang pegawai karena
merasatidak puas atas SK tersebut, disertai sikap tidak menerima terhadap penyelesaian
yang dilakukan melalui pemeriksaan internal (peradilan semu) di luar
pengadilan, karena tidak mendapat hasil maksimal. Menurut Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, gugatan yang diajukan pihak yang dirugikan pada pihak lain
harus didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat I, dan bila
melihat objek sengketa, maka pengajuan gugatan oleh penggugat ke Peradilan
Administrasi pada dasarnya sudah tepat karena diajukan masih dalam tenggang
waktu 90 hari sejak Penggugat menerima Surat Keputusan tersebut ( Pasal 55 UU
No 5 tahun 1986 Jo UU No. 9 tahun 2004 ), akan tetapi bila melihat ketentuan
dalam Pasal 15 ayat (2) PP No. 30 tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS
khususnya untuk putusan berupa hukuman disiplin, dapat dilakukan melalui upaya
administratif yaitu, Penggugat menyampaikan keberatan disertai alasan-alasan
walaupun sengketa belum selesai. Dalam kasus ini telah dinyatakan jelas
alasan-alasan pengugat yang menyatakan pemecatan dirinya sebagai pegawai negeri
sipil dirasa dilakukan sewenang-wenang oleh Bupati kepulauan selayar karena
tidak dapat membuktikan alasan yang tepat.
Dalam hal ini pada dasarnya bupati yang bersangkutan haruslah melihat tujuan
hukuman disiplin pegawai negeri dalam melakukan pemecatan. Adapun tujuan
tersebut adalah sebagai berikut :
Tujuan hukuman
disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang melakukan pelanggaran
disiplin PNS. Hukuman disiplin yang dijatuhkan harus setimpal dengan
pelanggaran yang dilakukan, sehingga hukuman disiplin tersebut dapat diterima
oleh rasa keadilan. Dalam menegakkan disiplin, hukuman disiplin adalah upaya
terakhir apabila upaya pembinaan dengan cara lain sudah tidak dapat merubah
perilaku seorang PNS yang tidak disiplin, karena itu setiap penindakan terhadap
pelanggaran disiplin perlu dilandasi dengan prinsip :
1. Adanya rasa keadilan, oleh karena itu sanksi yang dikenakan harus setimpal
dengan kesalahan yang telah dilakukan, dengan mempertimbangkan hal hal yang
memberatkan dan meringankan.
2. Sanksi harus
bermanfaat untuk mendidik dan memperbaiki PNS yang dikenakan sanksi serta
berdampak positif bagi pembinaan PNS di lingkungan kerjanya.
3. Konsistensi,
keputusan penindakan yang pernah diambil dalam suatu kasus, menjadi pedoman
dalam penindakan dalam kasus yang sama.
4. Adanya kepastian
hukum, penindakan terhadap setiap pelanggaran harus di dasarkan pada ketentuan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Berdasarkan pemaparan penggugat dalam hal ini penggugat telah tepat untuk
memperkarakan perkara ini ke PTUN karena menurut kelompok kami pengadilan PTUN
berwenang untuk mengadili perkara yang dialami oleh Muh. Arsad. Dari penjelasan
mengenai alasan-alasan yang disampaikan oleh Muh. Arsad kelompok kami dapat
menyimpulkan bahwa keputusan yang dibuat oleh bupati dalam hal ini Bupati
kepulauan selayar adalah sewenang-wenang karena telah dijelaskan bahwa dalam
hal pembuktian saja bupati tersebut membuat alat bukti palsu berupa kuitansi
palsu.
Pengajuan Banding
Dan dari perkembangan kasus diatas
bahwa terbukti bahwa pada saat penggugat dimenangkan di pengadilan tata usaha
negara makasar, maka tergugat benar karena merasa tidak puas terhadap keputusan
maka dapat mengajukan banding ke tinggi tata usaha negara dengan konsekuensi
menggunakan prosedure yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Menurut kelompok kami perkembangan
perkara oleh tergugat ini yang mengajukan banding ke pengadilan tinggi tata
usaha negara dirasa hanyalah pemainan politik ketidakpuasan yang dilakukan
pejabat pemerintahan, hal ini dikarenakan dalam proses pengajuan banding yang
dilakukan tergugat, tergugat kemudian menuntut penggugat dengan tuntutan pidana
yang lain, yaitu seperti tindak pidana korupsi. Menurut pengamatan kelompok
kami inilah yang menyebabkan kami menganggap pengajuan banding yang dilakukan
hanyalah untuk mencari cela.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
·
Pada dasarnya apa yang dilakukan penggugat untuk
melakukan gugatan ke pengadilan TUN telah benar karena itu merupakan kewenangan
pengadilan tata usaha negara.
·
Dalam hal gugatan menurut kelompok kami Bupati selaku
tergugat telah terbukti telah membuat keputusan dengan sewenang-wenang, itu
dapat terlihat dari alasan-alasan yang diberikan oleh penggugat kepada
pengadilan tata usaha negara.
·
Pengajuan
banding yang dilakukan oleh tergugat merupakan langkah hukum yang sah dalam
peradilan tata usaha negara, karena dalam hal ini penggugat ataupun tergugat
dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi tata usaha negara apabila merasa
tidak puas dengan keputusan pengadilan tata usaha negara.
b. Saran
Menurut saya perkara kepegawaian
adalah perkara yang khusus dalam peradilan tata usaha negara karena proses
penyelesaian perkaranya dimulai dari penyelesaian sengketa secara non litigasi
kemudian berkembang ke penyelesaian sengketa secar litigasi. Dalam perkara ini
sebaiknya para pihak yang berperkara haruslah mencari penyelesaian masalah yang
terbaik untuk keduanya. Karena telah masuk ke ranah litigasi maka para pihak
sebaiknya mengambil langkah hukum yang efektif dan efisien agar proses
peradilan tidak bertele-tele.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pemecahan Persoalan Hukum,
Makalah disampaikan pada Ceramah Penataran Hakim Agama se-Indonesia
diselenggarakan Depag, 1993
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Mahkamah Agung, Jakarta,
1985
Kotan Y Stefanus,
Mengenal Peradilan Kepegawaian di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995.
TUGAS MID HUKUM KEPEGAWAIAN
SENGKETA
PEGAWAI NEGERI
DALAM
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DI
SUSUN OLEH :
NAMA : LA SIANE
NO. STAMBUK : 21209320
PROGRAM STUDI
: ILMU HUKUM
KELAS : RAHA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2014
TUGAS MID ANTROPOLOGI HUKUM
ETIKA
MANUSIA DALAM MASYARAKAT
DI
SUSUN OLEH :
NAMA : LA SIANE
NO.
STAMBUK : 21209320
PROGRAM STUDI
: ILMU HUKUM
KELAS : RAHA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KENDARI
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar