KOTA
BERSEJARAH DI KABUPATEN MUNA
1.
DANAU
NAPABALE
Danau Napabale adalah danau yang
terbentuk akibat masuknya air laut dari Selat Buton ke bebatuan yang berbentuk
cawan yang ada di pantai Desa Wabintinggi dan Lohia. Pada saat air laut sedang
surut, jalur tempat air laut masuk dari Selat Buton yang berbentuk terowongan
sepanjang tiga puluh meter dengan lebar sembilan meter itu dapat ditelusuri
dengan menggunakan perahu pincara. Namun, apabila air laut sedang pasang
terowongan tersebut akan tertutup air sehingga tidak dapat dilewati. Selain
terowongan, Danau Napabale juga menyajikan panorama alam yang sangat indah
berupa hamparan pepohonan yang menyejukkan, gelombang air danau yang lebih
tenang dibandingkan dengan gelombang air laut yang ada di Selat Buton, serta
bebatuan karang yang banyak teronggok di sekitar danau.
2.
MASJID
TERTUA DI KABUPATEN MUNA
Kota Muna tua, terletak dibagian
selatan Kota Raha ibu Kota Ibu Kota Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi tenggara,
di Waktu dulu tidak sembarang orang dapaat menunggang kuda. Ini tak lain untuk
menjaga etika dan sopan santun. Yang boleh menunggang kuda hanyalah para
pejabattinggi itupun bila sudah mendekati kediaman perdana menteri, penunggang
kuda juga harus turun, lalu berjalan kaki ke tempat tujuan. Budaya dan
tatakrama di kota Muna adalah potret sepenggal sejarah kerajaan Muna di masa
lampau. Sebagai mana di ungkapkan Jules Cauvreur dalam buku sejarah dan
kebudayaan Kerajaan Muna yang diterbitkan Artha Wahana Press, Kupang Nusa
Tenggara Timur, tahun 2001. Couvreur cukup memahami sejarah dan kebudayaan muna
salah satu etnis yang mendiami Pulau Muna dan Pulau-pulau kecil lain di
sekitarnya. Sebab dia adalah pegawai pemerintah kolonial belanda yang pernah
menjabat sebagai kontroler ( setingkat Bupati) di kerajaan Muna selama kuarang
lebih dua tahun ( 1933-1935). Selama kurun waktu itu dia tekun menggali sejarah
dan kebudayaan Muna. Ketika couvreur meninggal dalam usia 70 tahun ( 1971),
naskah yang ditulisnya tahun 1935 dan masih dalam bentuk stensilan dan
berbahasa belanda kemudian diterjemahkan oleg DR. Rene Vanden Berg dosen
linguistik dan peneliti bahasa Muna di darwin Australia. Kota Muna berjarak
sekitar 25 Km dari Raha, Sebetulnya orang Muna menyebutnya ‘Wuna’ sebagaimana
nama aslinya. Kota ‘ Wuna’ namun lama kelamaan kemudian diucapkan dan ditulis
Muna dalam laporan dan bahasa resmi. Wuna dalam bahasa Muna berarti bunga.
Disebut begitu karena tidak jauh dari situ terdapat sebuah gunung batu karang
yang sewaktu- waktu tumbuh dan menyerupai bunga karang. Bukit batu yang sering
berbunga itu oleh orang Muna di sebut ‘bahutara’ yang kemungkinan berasal dari
kata bahtera. Hal ini dikaitkan dengan dengan tradisi lisan yang hidup
dikalangan masyarakat bahwa ditempat itu perahu tumpangan ‘Sawerigading’ tokoh
masyarakat asal Sulawesi Selatan yang melegenda terdampar dan membrak baru
karang. Para pengikut Sawerigading sebanyak 40 orang yang berasal dari kerajaan
luwu Sulawesi Selatan itu kemudian berpencar keberbagai tempat dan membuat
koloni di Pulau Muna dan sebagian lagi ke Konawe di jazirah Pulau Sulawesi
bagian Tenggara . Sejalan dengan semakin baiknya sistem pemerintahan, pada masa
kekuasaan Lakilaponto sebagai Raja Muna VII ( 1538-1541) mulailah dibangun
pusat pemerintahan kerajaan di lokasi yang disebut Wuna tadi. Bersamaan dengan
itu turut dibangun benteng raksasa yang mengelilingi Kota Wuna. Setelah
Lakilaponto ditunjuk menjadi Raja Buton, Pembangunan Benteng Kota Wuna
dilanjutkan penggantinya, laposasu adik dari Lakilaponto. Pengangkatan
Lakilaponto sebagai Raja Buton merupakan hadiah dari Raja yang sedang berkuasa
atas keberhasilannya mengalahkan dan membunuh bajak laut Labolontio pengacau ke
amanan Kerajaan Buton. Selain melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan
benteng ibu kota kerajaan, laposasu sebagai pengganti Lakilaponto juga
mendirikan bangunan tempat perguruan islam, sesuai anjuran syekh Abdul Wahid,
seperti disebutkan Lakimi Batoa. Abdul Wahid merupakan Ipenyebar Islam per tama
di Muna. Ihwal pembangunan Kota Wuna, courvreur mengutip kepercayaan mistis
bahwa Lakilaponto dalam membangun benteng kota itu dibantu oleh para jin ( roh
halus).Pembuatan benteng itu memang merupakan pekerjaan raksasa,sebab seperti
ditulis courvreur, panjang keliling pagar batu itu mencapai 8.073 M dan tebal
tiga Meter. Seteah mejadi raja dan kemudian bergelar sultan menyusul
diterimahnya Islam sebagai agama resmi kerajaan, lakilaponto mengadakan
kesepakatan dengan adiknya Laposasu untuk saling membantu dan bekerja sama bila
kedua kerajaan menghadapi situasi yang pelik, termasuk ancaman dan intervensi
dari luar. Hubungan persaudaraan diantara kedua kerajaan terjalin hangat selama
kurang lebih 3,5 abad. Namun dalam kerangka politik pecah belah pemerintah
kolonial Belanda bersama Sultan Buton secara sepihak membuat perjanjian yang
disebut dengan Korte verklaring pada tanggal 2 Agustus 1918. Isi perjanjian itu
menyebutkan, belanda hanya mengakui dua pemerintahan swapraja di Sulawesi
tenggara, yakni Swapraja Buton dan Swapraja laiwoi di Kendari. Sejak saat itu
Kerajaan Muna yang berdaulat dinyatakan berada dibawah kontrol kesultanan
Buton. Sebagai subordinasi kesultanan buton, muna praktis menjadi salah satu
dari empat wilayah penyangga (bhatara) kerajaan islam tersebut, yakni ; Tiworo,
Kulisusu dan Kaledupa. Sedangkan dua kerajaan kecil(Rumbia dan kabaena) yang
juga ikut dicaplok menjadi wilayah non struktural karena tidak menyandang
predikat bhatara. Fasilitas publik lainya di kota wuna adalah Masjid pertama di
bangun pada masa pemerintahan La Titakono sebagai Raja muna X (1600-1625).
Menurut La Ode Muhammad Sirad Imbo,Tokoh adat Muna masjid yang dibangun
tersebut masih sangat sederhana dan bersifat darurat. Masjid agak besar baru
dibangun pada era La Ode Husaini dengan gelar omputo sangia ( 1716-1757).
Masjid tersebut di bangun ditenpat berbeda dengan lokasi masjid pertama dan
umur Masjid tersebut hampir seumur dengan Masjid Agunng Buton di Bau-Bau. Yang
di bangun oleh Saikuddin darul Alam tahun 1712 dengan konstruksi permanen.dan
baru di pugar pada tahun 1930-an di masa pemerntahan sultan buton ke -37
Muhammad hamidi. Masjid Kota Wuna baru di bangun secara permanen sekitar tahun
1933 oleh Raja muna La Ode Dika (1930-1938 yang mendapat bantuan dari kontrolir
belanda yang berkedudukan di Raha, Jules Couvreur. Karena selama memangku Raja
lebih banyak memperhatikan masjid tersebut, maka la Ode Dika di beri gelar ‘
Komasigino’ ( yang memiliki masjid ). Kerajaan Muna di masa lalu kini nyaris
tidak meninggalkan bekas. Satu-satunya peninggalan yang masih tampak dan
terawat baik adalah masjid yang pernah dibangun La Ode Dika, raja muna yang
terakhir dipilih oleh ‘sarano Wuna’ ( sejenis MPR era orde baru ) yang dibentuk
sejak masa pemerintahan La Titakono pada abad ke-17. Bangunan masjid yang
dilihat saat ini sudah tidak asli. Ketika Bupati Muna di jabat Drs. Maola daud
(1990-1997), bangunan masjid dirombak total dan dibangun yang baru dengan model
dan ukuran yang berbeda dengan aslinya. Pada era Bupati Muna di jabat Ridwan
(2000-2010) bangunan itu dikembalikan lagi pada bentuk aslinya.Bangunan masjid
terdiri dari tiga tingkatan termasuk tempat dudukan kuba. Peninggalan lain
sudah tidak ada lagi kecuali makam tua raja-raja masa lalu seperti makam la Ode
Husaini yang dikenal sangat taat beribah, sisa-sisa benteng yang tersisa 1800
meter dan telah ditutup rerumputan karena tidak mendapat perawatan yang memadai
dan batu-batunya telah di curi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar