Mengembalikan Kejayaan Muna
Oleh Mohamad
Final Daeng
La Ode Abjina, salah seorang pawang, memijat kuda
jantan yang baru saja selesai berkelahi dengan kuda jantan lain dalam atraksi
perkelahian kuda yang digelar di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara, Sabtu (29/12).
Memelihara kuda
pernah begitu lekat dengan kehidupan masyarakat di Kabupaten Muna, Sulawesi
Tenggara, sebelum tenggelam seiring berputarnya zaman. Kini, oleh pemerintah
setempat, kejayaan itu coba dibangkitkan dari tidur panjangnya. Secercah
harapan mengembalikan kejayaan muda Muna.
Di Desa
Latugho, Kecamatan Lawa, harapan itu dipupuk. Di desa yang berjarak sekitar 25
kilometer arah barat daya ibu kota Raha tersebut, sejumlah warga masih bersetia
memelihara kuda. Hewan itu sehari-hari digunakan untuk mengangkut hasil
perkebunan dan pertanian pemiliknya.
Pada momen
tertentu, kuda jantan juga ditanggap untuk atraksi perkelahian kuda. Dari 33
kecamatan di Muna, hanya di Kecamatan Lawa pertunjukan perkelahian kuda yang menjadi
ciri khas daerah itu masih bisa ditemukan.
Camat Lawa La
Ode Saifuddin mengatakan, selain perkelahian kuda, kecamatan itu dulu juga
terkenal dengan tradisi pacuan kuda. ”Ada arena pacuan kuda yang rutin
menggelar balapan kuda tingkat kecamatan ataupun kabupaten,” ujar Saifuddin
akhir Desember lalu.
Namun, ia
menambahkan, semua itu berubah saat minat pacuan kuda mulai berkurang akhir
1980-an. ”Terus meredup sampai akhirnya hilang sama sekali dan arena pun
ditutup,” katanya.
Balapan kuda
pada masa itu sangat populer di Muna. Berbagai acara dan kompetisi pun digelar
di banyak tempat. La Ode Abjina (42), pawang dan pemilik kuda di Latugho,
merupakan salah satu joki jawara pada masa kejayaan pacuan kuda di Muna.
”Saya terakhir
ikut pacuan pada tahun 1987,” kata Abjina. Ia menjadi joki kuda pacu sejak usia
12 tahun. Keahlian berkuda diperoleh dari sang ayah, La Ode Abdul Karim (73),
pemilik sekaligus pawang kuda kawakan di Muna.
Selama
kariernya, Abjina pernah menyabet tiga gelar juara berturut-turut di Kabupaten
Muna. Beberapa acara di luar Muna juga pernah diikutinya, termasuk ajang pacuan
kuda bergengsi di ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari.
Menghilang
Seiring
berjalannya waktu, populasi kuda di Muna pun menyusut meski tersisa ratusan
ekor saja. Paling banyak di Desa Latugho. Salah satu penyebab, minat memelihara
kuda turun. Kondisi itu menyebabkan berbagai aktivitas yang sebelumnya
melibatkan kuda perlahan turut menghilang.
Karim
mengatakan, di Desa Latugho kini tinggal tersisa tiga orang yang memiliki kuda
berjumlah total 40 ekor. Dia sendiri memiliki empat kuda jantan dan 16 kuda
betina.
Kuda-kuda milik
Karim itulah yang sekarang menjadi andalan jika ada yang ingin menggelar
pertunjukan perkelahian kuda meskipun momen seperti itu jarang terjadi.
”Dulu sering
digelar perkelahian kuda untuk acara-acara syukuran atau menyambut tamu,” kata
Karim.
Abjina pun
masih mengingat dulu kuda kerap digunakan dalam acara pernikahan untuk
mengantar pengantin. Selain itu, kuda juga menjadi tunggangan wajib kala
berburu kerbau atau sapi liar di hutan.
Dalam dimensi
berbeda, kuda juga menjadi medium untuk menjalin silaturahim antar-pemilik.
”Setiap pemilik kuda, dulu kalau ditelusuri, pasti masih memiliki hubungan
keluarga,” kata Abjina.
Ia menjelaskan
hal itu tak terlepas dari sejarah kuda yang pada masa kerajaan hanya dimiliki
kalangan terbatas, terutama bangsawan, yang kemudian mewariskan ke
anak-cucunya.
Kompas/Mohamad Final Daeng
Dua ekor kuda jantan berkelahi di sebuah lapangan di
Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Sabtu (29/12).
Perkelahian kuda merupakan salah satu atraksi tradisional yang terkenal dari
Muna namun kian langka dipertunjukkan.
Dibangkitkan
Karena penting
dan lekat dalam kehidupan masyarakat, kuda dijadikan salah satu simbol pada
lambang resmi Kabupaten Muna. Lambang tersebut menggambarkan dua kuda jantan
yang tengah berkelahi.
Namun, pada
2002 lambang itu lalu digantikan pohon jati, ikon lain Kabupaten Muna.
Penggantian lambang itu seolah menjadi klimaks lunturnya era kejayaan kuda di
Muna.
Kini, kejayaan
itu coba dibangkitkan kembali oleh pemerintah setempat. Atraksi perkelahian
kuda pun diupayakan terus digelar pada momen-momen penting daerah, seperti hari
jadi kabupaten.
Tonggak penting
lainnya adalah dengan mengembalikan kuda sebagai lambang daerah Muna pada 2012.
”Namun, sekarang namanya bukan lagi kuda berkelahi, melainkan kuda berhadapan,”
ujar Bupati Muna LM Baharuddin.
Baharuddin
menjelaskan, maksud penggantian nama lambang dari ”kuda berkelahi” menjadi
”kuda berhadapan” adalah untuk menghindari kesan negatif yang mungkin muncul.
”Kalau kuda berkelahi, kesannya orang Muna suka perkelahian. Padahal, bukan itu
maksud yang ingin disampaikan, melainkan makna yang diambil dari kuda berkelahi
itu adalah tentang harga diri,” kata Baharuddin.
Guna menegaskan
statusnya sebagai ikon daerah, Pemkab Muna juga berencana membangun patung
raksasa kuda berkelahi pada 2013 ini. Patung berbahan tembaga itu nanti akan
ditempatkan di titik strategis di ibu kota Raha.
Tak berhenti di
aspek simbolis, Pemkab pun berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas
populasi kuda di daerah. Pada 2012, Baharuddin mengatakan, pihaknya memberikan
bantuan 15 kuda yang didatangkan dari Sumbawa kepada warga.
Selain untuk
menambah populasi, hal itu juga dimaksudkan untuk memperbaiki keturunan kuda di
Muna. Pasalnya, berdasarkan temuan Balai Penelitian Ternak, Bogor, pola
perkawinan internal kuda di Muna selama ini membuat kualitas fisik kuda
menurun. ”Tubuh kuda menjadi kecil,” kata Baharuddin.
Di Kecamatan
Lawa, upaya mengembalikan kejayaan tradisi perkelahian kuda dan pacuan kuda
juga tengah dirintis. Saifuddin memproyeksikan Desa Latugho menjadi pusat kedua
aktivitas tersebut. ”Kami merencanakan membangun arena pacuan dan perkelahian
kuda,” ujarnya.
Hal itu akan
dikombinasikan dengan obyek wisata pemandian alam yang telah ada di Latugho
sehingga desa itu nanti menjadi destinasi wisata andalan di Muna. Jika hal itu
terwujud, perekonomian masyarakat sekitar diharapkan turut terangkat.
Saat ini,
Saifuddin mengatakan, pihaknya tengah mencari lahan yang bisa dihibahkan untuk
lokasi pacuan kuda dan arena perkelahian kuda di desa tersebut. Adapun untuk
pembangunan sarana-prasarana, Saifuddin berharap ada bantuan dari Pemkab Muna.
Dari sisi daya
tarik, antusiasme masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan perkelahian kuda
sebenarnya sangat tinggi, seperti yang terlihat saat atraksi itu digelar di
Latugho, Desember lalu. Warga dari sejumlah tempat berdatangan memadati lokasi
untuk menyaksikannya.
”Sebenarnya
yang datang bisa jauh lebih banyak lagi kalau (acara) diumumkan. Tidak
diumumkan seperti ini saja yang datang banyak,” kata Abjina.
Dari
pengalamannya, pertunjukan perkelahian kuda selalu berhasil menyedot minat
ratusan penonton.
Zaman boleh
terus berputar, tetapi kuda akan selalu menemukan rumahnya di tanah Muna.
Setidaknya ada secercah harapan dari pulau yang kaya akan batu karst itu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar