do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Senin, 10 November 2014

Mengembalikan Kejayaan Muna



Mengembalikan Kejayaan Muna
Oleh Mohamad Final Daeng
http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2013/01/14/1551293-memijat-kuda--620X285.jpg
La Ode Abjina, salah seorang pawang, memijat kuda jantan yang baru saja selesai berkelahi dengan kuda jantan lain dalam atraksi perkelahian kuda yang digelar di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Sabtu (29/12).
Memelihara kuda pernah begitu lekat dengan kehidupan masyarakat di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, sebelum tenggelam seiring berputarnya zaman. Kini, oleh pemerintah setempat, kejayaan itu coba dibangkitkan dari tidur panjangnya. Secercah harapan mengembalikan kejayaan muda Muna.
Di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, harapan itu dipupuk. Di desa yang berjarak sekitar 25 kilometer arah barat daya ibu kota Raha tersebut, sejumlah warga masih bersetia memelihara kuda. Hewan itu sehari-hari digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan dan pertanian pemiliknya.
Pada momen tertentu, kuda jantan juga ditanggap untuk atraksi perkelahian kuda. Dari 33 kecamatan di Muna, hanya di Kecamatan Lawa pertunjukan perkelahian kuda yang menjadi ciri khas daerah itu masih bisa ditemukan.
Camat Lawa La Ode Saifuddin mengatakan, selain perkelahian kuda, kecamatan itu dulu juga terkenal dengan tradisi pacuan kuda. ”Ada arena pacuan kuda yang rutin menggelar balapan kuda tingkat kecamatan ataupun kabupaten,” ujar Saifuddin akhir Desember lalu.
Namun, ia menambahkan, semua itu berubah saat minat pacuan kuda mulai berkurang akhir 1980-an. ”Terus meredup sampai akhirnya hilang sama sekali dan arena pun ditutup,” katanya.
Balapan kuda pada masa itu sangat populer di Muna. Berbagai acara dan kompetisi pun digelar di banyak tempat. La Ode Abjina (42), pawang dan pemilik kuda di Latugho, merupakan salah satu joki jawara pada masa kejayaan pacuan kuda di Muna.
”Saya terakhir ikut pacuan pada tahun 1987,” kata Abjina. Ia menjadi joki kuda pacu sejak usia 12 tahun. Keahlian berkuda diperoleh dari sang ayah, La Ode Abdul Karim (73), pemilik sekaligus pawang kuda kawakan di Muna.
Selama kariernya, Abjina pernah menyabet tiga gelar juara berturut-turut di Kabupaten Muna. Beberapa acara di luar Muna juga pernah diikutinya, termasuk ajang pacuan kuda bergengsi di ibu kota Sulawesi Tenggara, Kendari.
Menghilang
Seiring berjalannya waktu, populasi kuda di Muna pun menyusut meski tersisa ratusan ekor saja. Paling banyak di Desa Latugho. Salah satu penyebab, minat memelihara kuda turun. Kondisi itu menyebabkan berbagai aktivitas yang sebelumnya melibatkan kuda perlahan turut menghilang.
Karim mengatakan, di Desa Latugho kini tinggal tersisa tiga orang yang memiliki kuda berjumlah total 40 ekor. Dia sendiri memiliki empat kuda jantan dan 16 kuda betina.
Kuda-kuda milik Karim itulah yang sekarang menjadi andalan jika ada yang ingin menggelar pertunjukan perkelahian kuda meskipun momen seperti itu jarang terjadi.
”Dulu sering digelar perkelahian kuda untuk acara-acara syukuran atau menyambut tamu,” kata Karim.
Abjina pun masih mengingat dulu kuda kerap digunakan dalam acara pernikahan untuk mengantar pengantin. Selain itu, kuda juga menjadi tunggangan wajib kala berburu kerbau atau sapi liar di hutan.
Dalam dimensi berbeda, kuda juga menjadi medium untuk menjalin silaturahim antar-pemilik. ”Setiap pemilik kuda, dulu kalau ditelusuri, pasti masih memiliki hubungan keluarga,” kata Abjina.
Ia menjelaskan hal itu tak terlepas dari sejarah kuda yang pada masa kerajaan hanya dimiliki kalangan terbatas, terutama bangsawan, yang kemudian mewariskan ke anak-cucunya.
Kompas/Mohamad Final Daeng
Dua ekor kuda jantan berkelahi di sebuah lapangan di Desa Latugho, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Sabtu (29/12). Perkelahian kuda merupakan salah satu atraksi tradisional yang terkenal dari Muna namun kian langka dipertunjukkan.
Dibangkitkan
Karena penting dan lekat dalam kehidupan masyarakat, kuda dijadikan salah satu simbol pada lambang resmi Kabupaten Muna. Lambang tersebut menggambarkan dua kuda jantan yang tengah berkelahi.
Namun, pada 2002 lambang itu lalu digantikan pohon jati, ikon lain Kabupaten Muna. Penggantian lambang itu seolah menjadi klimaks lunturnya era kejayaan kuda di Muna.
Kini, kejayaan itu coba dibangkitkan kembali oleh pemerintah setempat. Atraksi perkelahian kuda pun diupayakan terus digelar pada momen-momen penting daerah, seperti hari jadi kabupaten.
Tonggak penting lainnya adalah dengan mengembalikan kuda sebagai lambang daerah Muna pada 2012. ”Namun, sekarang namanya bukan lagi kuda berkelahi, melainkan kuda berhadapan,” ujar Bupati Muna LM Baharuddin.
Baharuddin menjelaskan, maksud penggantian nama lambang dari ”kuda berkelahi” menjadi ”kuda berhadapan” adalah untuk menghindari kesan negatif yang mungkin muncul. ”Kalau kuda berkelahi, kesannya orang Muna suka perkelahian. Padahal, bukan itu maksud yang ingin disampaikan, melainkan makna yang diambil dari kuda berkelahi itu adalah tentang harga diri,” kata Baharuddin.
Guna menegaskan statusnya sebagai ikon daerah, Pemkab Muna juga berencana membangun patung raksasa kuda berkelahi pada 2013 ini. Patung berbahan tembaga itu nanti akan ditempatkan di titik strategis di ibu kota Raha.
Tak berhenti di aspek simbolis, Pemkab pun berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas populasi kuda di daerah. Pada 2012, Baharuddin mengatakan, pihaknya memberikan bantuan 15 kuda yang didatangkan dari Sumbawa kepada warga.
Selain untuk menambah populasi, hal itu juga dimaksudkan untuk memperbaiki keturunan kuda di Muna. Pasalnya, berdasarkan temuan Balai Penelitian Ternak, Bogor, pola perkawinan internal kuda di Muna selama ini membuat kualitas fisik kuda menurun. ”Tubuh kuda menjadi kecil,” kata Baharuddin.
Di Kecamatan Lawa, upaya mengembalikan kejayaan tradisi perkelahian kuda dan pacuan kuda juga tengah dirintis. Saifuddin memproyeksikan Desa Latugho menjadi pusat kedua aktivitas tersebut. ”Kami merencanakan membangun arena pacuan dan perkelahian kuda,” ujarnya.
http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2013/01/14/1540438p.jpg
Hal itu akan dikombinasikan dengan obyek wisata pemandian alam yang telah ada di Latugho sehingga desa itu nanti menjadi destinasi wisata andalan di Muna. Jika hal itu terwujud, perekonomian masyarakat sekitar diharapkan turut terangkat.
Saat ini, Saifuddin mengatakan, pihaknya tengah mencari lahan yang bisa dihibahkan untuk lokasi pacuan kuda dan arena perkelahian kuda di desa tersebut. Adapun untuk pembangunan sarana-prasarana, Saifuddin berharap ada bantuan dari Pemkab Muna.
Dari sisi daya tarik, antusiasme masyarakat untuk menyaksikan pertunjukan perkelahian kuda sebenarnya sangat tinggi, seperti yang terlihat saat atraksi itu digelar di Latugho, Desember lalu. Warga dari sejumlah tempat berdatangan memadati lokasi untuk menyaksikannya.
”Sebenarnya yang datang bisa jauh lebih banyak lagi kalau (acara) diumumkan. Tidak diumumkan seperti ini saja yang datang banyak,” kata Abjina.
Dari pengalamannya, pertunjukan perkelahian kuda selalu berhasil menyedot minat ratusan penonton.
Zaman boleh terus berputar, tetapi kuda akan selalu menemukan rumahnya di tanah Muna. Setidaknya ada secercah harapan dari pulau yang kaya akan batu karst itu....

Tidak ada komentar: