do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Minggu, 20 Maret 2016

makalah karia orang muna



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kita pungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan daerah akan sangat berpengaruk terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal. Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa,
B.   Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah menjaga, memelihara dan melestarikan kebubayaan merupakan kewajiban setiap individu, maka dalam realisasinya saya mencoba menyusun makalah yang berjudul Selayang Pandang Upacara Adat Karia.





BAB II
PEMBAHASAN
A.   SELAYANG PANDANG
Aduan Kuda merupakan salah satu olahraga tradisional yang terkenal di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna dan telah menjadi tontonan yang menarik bagi masyarakat luas. Di kalangan masyarakat Muna, atraksi ini populer dengan sebutan pogeraha adara, yang berarti ‘adu kekuatan kuda‘. Atraksi aduan kuda memiliki nilai filosofi yang berkaitan dengan keutamaan hak dan harga diri dalam melaksanakan tanggung jawab. Masyarakat suku Muna akan berupaya sekuat tenaga dalam menjaga hak dan harga dirinya, walaupun nyawa taruhannya. Sampai sekarang, filosofi tersebut tetap menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku Muna. Atraksi adu kuda ini merupakan warisan dari kerajaan Muna di era kejayaannya. Pada awalnya, aduan kuda ditampilkan pada saat raja-raja di Kerajaan Muna kedatangan tamu penting dari luar daerah, seperti dari pulau Jawa atau dari daerah lain. Untuk menghibur para tamu tersebut, maka diadakanlah atraksi aduan kuda yang kemudian menjadi tradisi turun-temurun. Setelah kerajaan runtuh, tradisi aduan kuda tetap berkembang, bahkan saat ini menjadi salah satu tradisi unggulan masyarakat suku Muna. Setiap tahun setidaknya tiga kali diadakan atraksi aduan kuda, yaitu pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan dua hari raya (Idulfitri dan Iduladha). Biasanya, aduan tersebut selalu ramai ditonton oleh masyarakat. Pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, penontonnya bisa mencapai ribuan yang datang dari berbagai daerah.
B.   Adat kariya (Pingitan) sebagai tutura masyarakat Muna
Nilai-nilai budaya suatu bangsa merupakan khasanah kekayaan bangsa atau daerah. Indonesia sebagai bangsa besar yang memiliki potensi keanekaragaman budaya. Perbedaan ini bukan sebagai alasan untuk perpecahan, tetapi sebaliknya perbedaan itu menjadi perekat bagi komunitas masyarakat yang berbeda.
Keutuhan budaya suatu bangsa atau suatu daerah tergantung pada kemampuan masyarakat untuk mempertahankan dan melestarikannya. Ditinjau dari aspek potensi budaya bisa dapat bertahan dan berkembang ditentukan oleh kekenyalan nilai-nilai budaya tersebut.
Proses terpenting dari perkembangan budaya dalam dengan dunia pendidikan bahwa lembaga pendidikan baik sebagai sarana transformasi ilmu maupun sebagai penyelenggara pendidikan memiliki tanggung jawab yang luas dan komprehensif. Tangtu tidak semugung jawab itu tidak semudah membalikkan telapak tangan tetapi memerlukan proses panjang, mulai dari pengenalan, pemahaman, pengembangan sampai pada proses pewarisnya.
Budaya muna sebagai obyek yang dibahas menjadi lemah apabila proses pewarisnya hanya dilakukan melalui penuturan cerita, pendengaran dan pandangan mata. Gagasan penulisan budaya kiranya merupakan langkah positif yang harus tetap berlanjut sehingga ketika berbicara budaya muna tidak hanya sebatas cerita tetapi dapat dibaca dalam dokumen.
Ciri khas budaya lokal yang bersifat kedaerahan memiliki keunikan-keunikan khusus yang mencerminkan karakteristik masyarakat penduduknya. Keunikan itu dapat dianalisa dalam berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dan sangat tergantung pada obyek sudut pandang masing-masing. Upacara adat kariya (pingitan) misalnya, tidak hanya terbatas pada proses dan konsep urutan-urutan pelaksanaannya tetapi dalam memahami upacara adat tersebut kariya (pingitan) harus mendalami pemaknaan setiap sesi kegiatan dan symbol berdasarkan pendekatan filosofi, agama, kemasyarakatan dan konsep adat secara harfiah. Salah satu upaya untuk mengantisipasi gejala degradasi nilai-nilai budaya adalah merekontruksi nilai-nilai budaya dalam bentuk tulisan untuk dipedomani generasi muda secara berkesinambungan. Realitas dari keprihatinan dan keberpihakandari segelintir masyarakat terhadap kelestarian nilai-nilai budaya adalah munculnya kiat untuk mendokumenkan dalam bentuk tulisan “deskrepsi pelaksanaan upacara adat kariya” di Muna proses ini pun tidak menjadi jaminan untuk langgengnya suatu budaya, tapi hanya menjadai sebagian indikator, dan yang terpenting adalah sbb :
1.    Kesadaran pendukung kebudayaan tersebut yang memiliki kecenderungan dan proaktif terhadap pemeliharaan nillai-nilai budaya yang ada.
2.    Pengambil kebijakan khususnya yang berkompeten dalam bidang itu berupaya merekontruksi nilai-nilai budaya dalam bentuk aksi melalui festival, carnaval, dan ekspos budaya
3.    Tokoh-tokoh masyarakat yang senantiasa bersifat terbuka untuk member informasi demi kebutuhan penelitian dan ilmu pengetahuan.
4.    Kemauan dan kemampuan generasi muda untuk menggali informasi tentang filosofi budaya secara detail.
Warisan budaya masa lampau bukan sesuatu yang mutlak mempertahankan karena itu evaluasi dan kritik yang berpijak pada sistem berpikir rasional dan disesuaikan dengan kaida ilmiah. Dengan demikian, nilai-nilai budaya tradisional dapat dikaji dan berkembang untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Rekonstruksi kebudayaan masa lampau adalah merupakan tanggug jawab semua pihak. Lahirnya pemikiran untuk mendokumenkan upacara adat karya (pingitan) dalam sebuah tulisan adalah suatu gagasan yang harus dikembangkan dan dipertahankan untuk menjaga kelestarian nilai-nilai budaya.
C.   Upacara Adat Karya Ditinjau Dari Filosofi Adat dan Agama 
Kariya adalah upacara adat bagi masyarakat muna yang pertama diadakan pada masa pemerintahan Raja La ode Husein yang bergelar omputo sangia terhadap putrinya yang bernama Wa ode Kamomo Kamba. Menurut kaida bahasa muna kariya berasal dari kata kari” yang artinya : (1) sikat atau pembersih; (2) penuh atau sesak misalnya mengisi sebuah keranjang dengan suatu benda atau barang sampai penuh sehingga dalam bahasa muna disebut nokari (sesak). Pemaknaan dari simbolis nokari atau penuh bahwa perempuan yang di kariya telah penuh pemahamannya terhadap materi yang disampaikan oleh pemangku adat atau tokoh agama, khususnya yang berkaitan dengan seluik beluk kehidupan ber rumah tangga. Sedangkan makna secara konkrit bahwa kata kariya (Muna) berarti rebut atau keributan adalah ramai atau keramaian. Dalam acara kariya dimana sang gadis (kalambe) selama empat hari empat malam ditempatkan dalam sebuah tempat tertutup (songi atau sua). Untuk menghilanhkan rasa steres para gadis (kalambe) dalam tempa tersebut maka diselingi dengan acara-acara lain yaitu : rambi wuna, rambi padangga (rambi bajo), mangaro yaitu acara sandiwara perkelahian. Selama para gadis (kalambe) dalam songi acara rambi wuna, rambi padangga, dan mangaro senantiasa didemonstrasikan oleh orang –orang / golongan yang telah dilih dan ditetapkan secara adat.
Harfia dari kari (keributan atau keramaian) benar adanya, karena pandangan mata dan pendengaran selama proseksi pelaksanaan kariya 4 hari 4 malam senantiasa dirayakan dengan acara pukul gong (rambi) dan mangaro. Ini disimbolkan bahwa jenis rambi (pukul gong) seperti bersifat ajakan bagi setiap orang yang mendengarnya untuk hadir di tempat (lokasi) pelaksanaan upacara agar suasana senantiasa ramai dan semua orang ikut berkumpul yang kemudian ditetapkan secara adat untuk melakukan demonstrasi rambi (pukul gong) padangga adalah merupakan cirri khas yang dapat member isyarat kepada semua orang yang menyaksikan upacara tersebut sebagai suasana kekerabatan sehingga walaupun orang jauh dating beramai-ramai di tempat itu.
Proses ini dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati dengan ritual kariya maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki. Kepercayaan masyarakat muna bahwa upacara ritual kariya menjadi kewajiban bagi setiapa orang tua yang memiliki anak perempuan, karena itu proses pembersihan diri melalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Dalam kaitannya dengan konsepsi keagamaan bahwa kariya merupakan proses yang berkepanjangan yang diawali dengan kangkilo (sunat), katoba (pengislaman), hingga sampai pada pelaksanaan upacara kariya.



a.    Kariya Sebagai Tutura
Kata tutura dalam bahasa muna adalah derifasi morfem”tura” yang artinya awal, cerah, tetapi setelah mendapat prefiks tu artinya pengawalan, pencerahan. Tutura adalah rangkaian upacara ritual agar manusia mencapai insanu kamil. Ritual kariya menjadi simbol proses kejadian manusia dari setetes darah hingga menjadi manusia sempurna sedangkan tutura kariya pada awalnya dilaksanakan selama 40 hari. Dalam kaitan dengan kejadian manusia 9 bulan 10 hari berada dalam kandungan adalah merupakan pengejewantahan dari proses 7 tahapan dikalikan lamanya tutura kariya 40 hari hasilnya 280 hari dan kemudian dibagi 30 hari (1 bulan)  sama dengan 90 bulan 10 hari. Tetapi kemudian pelaksanaan tutura kariya hanya dilaksanakan 4 hari adalah sebagai kias dari 10 hari sedangkan 7 adalah tahapan- tahapan pelaksanaan kariya dari awal hingga selesai (Laode Sirat Imbo, Juni 2007).
Upacara kariya dianggap sebagai pengasah fitrah karena harapan dari proses pelaksanaan kariya adalah untuk mencapai kesucian kembali sebgaiman awalnya dilahirkan dimuka bumi. Oleh karena itu mengawali acara kariya peserta terlebih dahulu memandikan bertujuan untuk mencapai kesucian sehingga perangai diasah senantiasa cerah dan tetap terjaga fitrahnya.

b.    Kariya Sebagai Media Pendidikan
Berdasarkan teori media pendidikan ada dua metode yang dianggap efektif yaitu (1) character building (2) titilasi, mnelalui character building manusia digembleng watak dan mentalnya sehingga muncul rasa percaya diri yang kokoh, sedangkan melalui titilasi adalah pembinaaan minat agar bangkit gairah untuk mengetahui dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan kariya adalah proses pendidikasn pada kaum perempuan untuk dibina watak, karakter serta pemahaman akan dirinya. Implementasi character building dalam acara kariya atau pungitan dapat teramati pada proses, makan, minum dan jam tidur ditakar karena merupakan pembinaan hidup dalam kesederhanaan. Pada dasarnya indivudu perempuan terdapat potensi sifat loba, yaitu sifat umum perempuan yang harus dibina dan dikelola secara edukatif agar kelak menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan warahma. Sedangkan iringan tarian , nyanyian, pantun, dan gong adalah isyarat pembinaan gairah untuk melahirkan kepercayaan diri. Tutura kariya dikatakan sebagai proses pendidikan, karena dalam proses pelaksanaannya tidak hanya sekedar dipingit dalam tempat gelap (songi), tetapi didalam songi dilakukan proses pengisian dengan berbagai ilmu dan pengetahuan.
Pembinaan itu dilakukan oleh seseorang yang diutus oleh keluarga baik dalam dari kalangan tokoh adat maupun tokoh agama. Proses terpenting dalam pelaksanaan kariya adalah merupakan pembentukan diri untuk melawan musu yang terberat pada diri sendiri yaitu hawa nafsu.

c.    Kariya Selaku Proses Kelahiran Kembali
Sejarah pemikiran manusia adalah proses pengenalan diri sendiri beserta alam semesta, sehingga melahirkan berbagai kebudayaan dan peradaban. Dalam tutura kariya disebut “ kanghombo” ruang pingitan dalam bahasam muna disebut songi atau suo yaitu kamar dalam istana/ kamali. Tempat ini disimbolkan rahim (uterus ibu), oleh karena itu songi dikemas dengan kelambu, diberi langit-langit dan lantainya dilapisi dengan kain semua berwarna putih tanpa penerangan lampu.
Pangangan agama tentang proses kalahiran kembali, adalah perubahan pada setiap insan manusia yang telah melewati proses tertentu, misalnya dalam bulan suci ramadhan setelah melakukan puasa 1 bulan lamanya maka pada tanggal 1 syawal dinyatakan lahir kembali, karena mencapai peringkat fitra atau bagaikan bayi baru lahir. Kaitan dengan pelaksanaan tutura kariya / pinmgitan dianggap sebagai proses kelahiran kembali, karena setelah keluar dari songi dengan melewati proses pergantian 4 alamnya itunya alam arwah hingga pada alam isnani yang dikemas dengan berbagai pembinaan akhlah dan aqidah. Pada acara kabhalengka merupakan proses kelahiran kembali dari seorang perempuan yang telah disyarati dengan tutura kariya / pingitan.

d.    kariya sebagai upacara peresmian atau pelantikan
Upacara ritual kariya yang dikemas dalam bentuk simbolik proses kejadian manusia dari satu tahapan kehidupan ketahapan berikutnya, dikenal dengan kronologi insiasi. Upacara insiasi dalam kariya dinamai kalempagi dalam bahasa muna kata itu adalah derivasi dari morfem lempa yang artinya lawak atau lewat dibumbuhi prefiks”ka” dan sufiks” sehingga menjadi kalempagi yang artinya perlawatan atau perlewatan. Usia remaja adalah tahapan yang amat rentan terhadap pengaruh negaif baik lingkungan maupun pergaulan. Oleh sebab itu diusia remajalah upacara kariya dilaksanakan. Kalempagi, berarti pelewatan usia remaja dan perlawatan keusia dewasa (Laode Sirat Imbo, Juni 2007). Upacara kalempagi adalah peresmian (pelantikan) perlawatan itu ditandai dengan katandano wite atau penyentuhan tanah.
Indikator lain menguatkan bahwa kariya sebagai upacara peresmian atau pelantikan, ditandai dengan model pakaian yang dikenakan oleh peserta kariya. Pada bagian kepala disematkan panto (mahkota) bagaikan putri  ratu yang telah di lantik sebagai raja disebuah kerajaan. Oleh karena itu cirri khas pakaian perempuan yang dikariya menunjukkan cirri khas pakaian kebesaran sesuai dengan golongan sosialnya masing-masing, misalnya kaomu, walaka, dan maradhika.












BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kita pungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut dengan kebudayaan nasional
B.   SARAN
 Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa.



Tidak ada komentar: