MAKALAH
PERTUMBUHAN
TANAMAN PADA LAHAN MARJINAL
(LAHAN
KERING)
DISUSUN OLEH :
NAMA : ROSMILA
NIM : 91404014
JURUSAN : AGROTEKNOLOGI
SEKOLAH
TINGGI ILMU PERTANIAN WUNA
( STIP WUNA
)
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahan
atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam
segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah diperlukan manusia untuk
tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan,
kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Karena pentingnya peranan lahan atau
tanah dalam kehidupan manusia, maka ketersediaannya juga jadi terbatas. Keadaan
ini menyebabkan penggunaan tanah yang tumpang tindih, misalnya tanah sawah yang
digunakan untuk perkebunan tebu, kolam ikan, atau penggembalaan ternak atau
tanah hutan yang digunakan untuk perladangan atau pertanian lahan kering.
Kesuburan
tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman karena asupan nutrisi bagi
tanaman disediakan oleh tanah, salah satu penentu kesuburan tanah ini adalah
jenis lahannya. Perbedaan jenis lahan akan turut serta menentukan jumlah
nutrisi yang ada di dalamnya. Salah satu jenis lahan ini adalah lahan kering.
Indonesia memiliki lahan kering
masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan,
Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara (Soebagyo,et al.,
2004; Hidayat dan Mulyani, 2005), merupakan potensi yang sangat besar untuk
pembangunan pertanian. Namun produktivitasnya umumnya rendah, kecuali sistem
pertanian lahan kering dengan tanaman tahunan/ perkebunan. Pada usahatani lahan
kering dengan tanaman pangan semusim, produktivitas relatif rendah serta
menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat
dan masalah biofisik (Sukmana, 1994). Pengelolaan tanah pada lahan kering ini
sangat penting terutama kesuburan tanahnya karena potensi luasannya yang sangat
besar.
B. Tujuan
Tulisan ini
diharapkan mampu menyajikan pengetahuan tentang lahan kering serta pengelolaan
kesuburan tanah pada lahan kering sebagai bentuk upaya konservasi pada lahan
kering.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian
Lahan Kering
Istilah
lahan kering digunakan oleh Kelompok Penelitian Agroekosistem (KEPAS, 1986)
sebagai padanan dry land. Uraiannya
menyiratkan pengusahaan lahan secara tadah hujan. Untuk menghilangkan kerancuan
penggunaan istilah lahan kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan
pengertian yang didasarkan:
1.
Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land menurut salah satu takrifnya: (a) daerah dengan curah
hujan tahunan kurang daripada 250 mm, (b) daerah yang jumlah hujannya tidak
mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang jumlah hujannya
tidak mencukupi untuk memapankan pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah
dengan jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curahan (precipitation)
aktual (Monkhouse & Small, 1978).
2.
Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar (bukan rawa,
dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan lahan basa alamiah lain).
3.
Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.
Untuk
kondisi yang pertama dapat digunakan istilah “daerah kering” atau “kawasan
iklim kering”. Sementara pada kondisi yang kedua dapat dipilih istilah lahan
atasan (upland). Kondisi yang ketiga
dapat diterapkan istilah “lahan kering”. Jadi, pertanian lahan kering ialah
pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka padi sawah dan
perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk, akan tetapi padi gogo,
palawija, perumputan pakan, perkebunan dan pekarangan termasuk pertanian lahan
kering. Ini berarti bahwa irigasi tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan
untuk menggenangi lahan
B. Tanah Mineral Masam dan Penyebarannya
Tanah
mineral masam banyak dijumpai di wilayah beriklim tropika basah, termasuk
Indonesia. Luas areal tanah bereaksi asam seperti podsolik, ultisol, oxisols
dan spodosol, masing-masing sekitar 47,5, 18,4, 5,0 dan 56,4 juta ha atau
seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia (Nursyamsi et al,
1996).
Keasaman
tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah
tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah
akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka
tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih
tinggi dari ion H+. Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena
kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan
ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat
menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai
kejenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida ,dengan
demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah (Yulianti, 2007). Terdapat
dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kemasaman (reaksi tanah)
aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi
hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur
pada pemakaiannya sehari‑hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar
hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang
terdapat dalam larutan (Hanafiah, 2007). Selanjutnya dijelaskan juga oleh
Hanafiah (2007) bahwa sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi
tanah yang asam atau basa. Asam‑asam organik dan anorganik, yang dihasilkan
oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum
dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02
yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber
lain dari sejumlah kecil ion H+.
Jenis tanah
masam diantaranya terdapat pada tanah ordo Ultisol. Ultisol dibentuk oleh
proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung
dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan bercurah
hujan tinggi dengan vegetasi klimaksnya hutan rimba. Dalam lingkungan semacam
ini reaksi hidrolisis dan asidolisis serta proses pelindian (leaching) terpacu
sangat cepat dan kuat. Asidolisis berlangsung kuat karena air infiltrasi dan
perkolasi mengambil CO2 hasil mineralisasi bahan organik berupa
serasah hutan dan hasil pernafasan akar tumbuhan hutan. Pelapukan masam tanah
membebaskan basa dari mineral tanah secara cepat apabila didukung dengan daya
lindi yang kuat maka akan terbentuk tanah yang miskin hara dan Al, Fe, serta Mn
yang tinggi dapat meracuni tanaman. Persoalan akan bertambah berat jika bahan
induk tanah sudah bersifat masam kondisi inilah yang dijumpai di Sumatera.
Tanah ultisol memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. pH rendah
2. Kejenuhan
Al, Fe danMn tinggi
3. Daya
jerap terhadap fosfat kuat
4. Kejenuhan
basa rendah ; kadar Cu rendah dalam tanah yang berasal dari bahan induk masam
(feksil) atau batuan pasir, Zn cukup namun tereluviasi.
5. Kadar
bahan organik rendah dan kadar N rendah
6. Daya
simpan air terbatas
7. Kedalaman
efektif terbatas
8. Derajat
agregasi rendah dan kemantapan agregat lemah baik pada lahan
berlereng maupun datar.
Ultisols
(ultimus-selesai) adalah tanah-tanah yang berwarna kuning merah dan telah
mengalami pencucian yang sudah lanjut. Dikenal luas sebagai podsolik merah
kuning. Tanah-tanah ini mendominasi lahan kering di Sumatera, Kalimantan dan
Jawa. Total luas adalah sekitar 45.79 juta ha atau 24.3 % dari lahan Indonesia
dan menyebar di KalimantanTimur (10.04 juta ha), IrianJaya (7.62 juta),
KalimantanBarat (5.71 juta), Kalimantan Tengah (4.81 juta), dan Riau (2.27 juta
ha). Tanah Oxisols (oxide, oksida) adalah tanah-tanah yang telah mengalami
pencucian yang intensif dan miskin hara, tinggi kandungan Al dan Fe. Seperti
halnya Ultisols, mereka mendominasi lahan kering dengan intensitas curah hujan
yang tinggi. Tanah-tanah ini sudah tua. Total luas tanah ini sekitar 14.11 juta
ha atau 7.5% dari total lahan Indonesia dan menyebar di Sumatera Selatan (2.82
juta ha), Irian Jaya (2.41 juta), Kalimantan Tengah (2.06 juta), Kalimantan
Barat (1.79 juta), Jambi (1.14 juta), dan Lampung (1.01 juta ha).
Spodosol merupakan tanah mineral yang mempunyai horizon spodik, suatu horizon dalam dengan akumulasi bahan organic, dan oksidasi aluminium (Al) dengan atau tanpa oksidasi besi (Fe).. Di Indonesia sendiri penyebaran endapan pasir dan batu pasir kuarsa yang secara geologis sangat luas, terdapat di Kalimantan Tengah, serta setempat-setempat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di pulau lain nampaknya tidak luas penyebaranya dan setempat – setempat terdapat di Sulawesi dan Sumatera. Landform – nya dimasukkan sebagai dataran tektonik. Lanscape luas tanah spodosol seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1 % wilayah dataran Indonesia. Penyebaranya paling luas terdapat di Kalimantan Tengah sekitar 1,51 juta ha, kemudian di Kalimantan Barat 0,42 juta dan Kalimantan Timur 0,15 juta ha. Di Sulawesi Tengah, tengah, selatan dan tenggara dipearkirakan terdapat antara 11-25 ribu ha (Himatan, 2006).
Spodosol merupakan tanah mineral yang mempunyai horizon spodik, suatu horizon dalam dengan akumulasi bahan organic, dan oksidasi aluminium (Al) dengan atau tanpa oksidasi besi (Fe).. Di Indonesia sendiri penyebaran endapan pasir dan batu pasir kuarsa yang secara geologis sangat luas, terdapat di Kalimantan Tengah, serta setempat-setempat di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di pulau lain nampaknya tidak luas penyebaranya dan setempat – setempat terdapat di Sulawesi dan Sumatera. Landform – nya dimasukkan sebagai dataran tektonik. Lanscape luas tanah spodosol seluruhnya diperkirakan 2,16 juta ha atau 1,1 % wilayah dataran Indonesia. Penyebaranya paling luas terdapat di Kalimantan Tengah sekitar 1,51 juta ha, kemudian di Kalimantan Barat 0,42 juta dan Kalimantan Timur 0,15 juta ha. Di Sulawesi Tengah, tengah, selatan dan tenggara dipearkirakan terdapat antara 11-25 ribu ha (Himatan, 2006).
C. Tinjauan
Umum Kesuburan Tanah
Sebagai
sumberdaya alam untuk budidaya tanaman, tanah mempunyai dua fungsi, yaitu : (1)
sebagai sumber penyedia unsur hara dan air, dan (2) tempat akar berjangkar.
Salah satu atau kedua fungsi ini dapat menurun, bahkan hilang.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Hilangnya fungsi inilah yang menyebabkan produktivitas tanah menurun menjadi Tanah Marginal. Dengan demikian, Tanah Marginal untuk budidaya tanaman merupakan tanah yang mempunyai sifat-sifat fisika, kimia, dan biologi yang tidak optimal untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Tanah
Marginal dapat terbentuk secara alami dan antropogenik (ulah manusia). Secara
alami (pengaruh lingkungan) yang disebabkan proses pembentukan tanah terhambat
atau tanah yang terbentuk tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Misalnya,
bahan induk yang keras dan asam, kekurangan air, suhu yang dingin/membeku,
tergenang dan akumulasi bahan gambut, fraksi tanah yang dihasilkan didominasi
oleh pasir, pengaruh salinisasi/penggaraman.
Tanah Marginal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami, bukan tanah yang menjadi marginal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah Marginal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, dan Ultisols. Secara antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya, deforestasi dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan tambang, terungkapnya unsur atau senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan ekstrem pada tanah gambut, serta kebakaran. Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan terjadinya erosi yang dipercepat dan punahnya organisme yang berperan dalam pembentukan tanah . Aliran permukaan yang berasal dari curah hujan akan mengikis lapisan permukaan yang merupakan bagian tersubur dari tanah. Fraksi tanah yang dahulu diangkut adalah yang halus dan ringan yaitu liat dan humus. Kedua fraksi ini sangat berperan dalam menentukan kesuburan tanah, karena merupakan kompleks petukaran ion dan penahan unsur hara. Dalam sedimen yang terangkut pada peristiwa erosi terdapat juga berbagai unsur hara dan bahan organik. Oleh karena itu, tanah yang mengalami erosi akan menurun produktivitasnya menjadi tanah marginal yang kalau erosi selanjutnya tidak dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.
Tanah Marginal yang dimaksudkan adalah tanah yang terbentuk secara alami, bukan tanah yang menjadi marginal karena antropogenik. Dari 12 ordo tanah di dunia (Alfisols, Andisols, Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, Mollisols, Oxisols, Spodosols, Ultisol, dan Vertisols) yang tergolong Tanah Marginal antara lain adalah : Aridisols, Entisols, Gelisols, Histosols, Inceptisols, dan Ultisols. Secara antropogenik adalah karena ulah manusia yang memanfaatkan sumberdaya alam yang tidak terkendali, sehingga terjadi kerusakan ekosistem. Misalnya, deforestasi dan degradasi hutan, eksploitasi deposit bahan tambang, terungkapnya unsur atau senyawa beracun bagi tanaman, pengeringan ekstrem pada tanah gambut, serta kebakaran. Deforestasi dan degradasi hutan menyebabkan terjadinya erosi yang dipercepat dan punahnya organisme yang berperan dalam pembentukan tanah . Aliran permukaan yang berasal dari curah hujan akan mengikis lapisan permukaan yang merupakan bagian tersubur dari tanah. Fraksi tanah yang dahulu diangkut adalah yang halus dan ringan yaitu liat dan humus. Kedua fraksi ini sangat berperan dalam menentukan kesuburan tanah, karena merupakan kompleks petukaran ion dan penahan unsur hara. Dalam sedimen yang terangkut pada peristiwa erosi terdapat juga berbagai unsur hara dan bahan organik. Oleh karena itu, tanah yang mengalami erosi akan menurun produktivitasnya menjadi tanah marginal yang kalau erosi selanjutnya tidak dikendalikan, tanah tersebut akan menjadi lahan kritis.
Produktivitas
tanah merupakan kemampuan suatu tanah untuk menghasilkan produk tertentu suatu
tanaman dibawah suatu sistem pengelolaan tanah tertentu. Suatu tanah atau lahan
dapat menghasilkan suatu produk tanaman yang baik dan menguntungkan maka tanah
dikatakan produktif. Produktivitas tanah merupakan perwujudan dari faktor tanah
dan non tanah yang mempengaruhi hasil tanaman. Tanah produktif harus mempuyai
kesuburan yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Akan tetapi tanah subur
tidak selalu berarti produktif. Tanah subur akan produktif jika dikelola dengan
tepat, menggunakan jenis tanaman dan teknik pengelolaan yang sesuai.
Kesuburan
tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur hara tanaman
dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk senyawa-senyawa
yang dapat dimanfaatkan tanaman dan dalam perimbangan yang sesuai untuk
pertumbuhan tanaman tertentu dengan didukung oleh faktor pertumbuhan lainnya
(Yuwono dan Rosmarkam, 2008).
Tanah yang sehat akan memberikan sumbangan yang besar tehadap kualitas tanah. Kualitas tanah dapat sebagai sifat atau atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil observasi tidak langsung, dan sebagai kemampuan tanah untuk menampakkan fungsi-fungsi produktivitas lingkungan dan kesehatan. Winarso (2005) menjelaskan bahwa pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan datang, karena dapat dipakai sebagai alat untuk menilai pengaruh pengelolaan lahan.
Tanah yang sehat akan memberikan sumbangan yang besar tehadap kualitas tanah. Kualitas tanah dapat sebagai sifat atau atribut inherent tanah yang dapat digambarkan dari sifat-sifat tanah atau hasil observasi tidak langsung, dan sebagai kemampuan tanah untuk menampakkan fungsi-fungsi produktivitas lingkungan dan kesehatan. Winarso (2005) menjelaskan bahwa pengukuran kualitas tanah merupakan dasar untuk penilaian keberlanjutan pengelolaan tanah yang dapat diandalkan untuk masa-masa yang akan datang, karena dapat dipakai sebagai alat untuk menilai pengaruh pengelolaan lahan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
PERMASALAHAN
KESUBURAN TANAH
Tanah masam di Indonesia
memiliki ciri-ciri tekstur lempungan, struktur gumpal, permeabilitas rendah,
stabilitas agregat baik, pH rendah, KPK rendah, aras N, P, Ca, Mg sangat
rendah, vegetasi alami alang-alang (Imperata cylindrica) dan hutan
(Hardjowigeno, 1993), fraksi lempung didominasi oleh mineral-mineral bermuatan
terubahkan seperti kaolinit, gibsit dan atau goetit (Ismail et al., 1993).
Tanah ini di Indonesia terbentuk di daerah yang bercurah hujan tinggi
(2500-3000 mm per tahun), topografi berombak hingga berbukit dengan ketinggian
50-350 mm di atas muka air laut, batuan induk granit, abu vulkan atau andesit.
Pengelolaan tanah-tanah mineral
masam untuk kepentingan pertanian menghadapi kendala pH yang rendah, keracunan
Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan unsur-unsur hara penting seperti N, P, Ca,
dan atau Mg dan Mo . Lahan kering
tergolong suboptimal karena tanahnya kurang subur, bereaksi masam, mengandung
Al, Fe, dan atau Mn dalam jumlah tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Lahan
masam pada umumnya miskin bahan organik dan hara makro N, P, K, Ca, dan Mg.
Usaha pertanian di tanah Ultisol akan menghadapi sejumlah permasalahan.Tanah
Ultisol umumnya mempunyai pH rendah yang menyebabkan kandungan Al, Fe, dan Mn
terlarut tinggi sehingga dapat meracuni tanaman. Jenis tanah ini biasanya
miskin unsur hara esensial makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg; unsur hara mikro
Zn, Mo, Cu, dan B, serta bahan organik . Meskipun secara umum tanah Ultisol
atau Podsolik Merah Kuning banyak mengandung Al dapat ditukar (Al-dd) (20-70%),
namun hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa contoh tanah tersebut
mengandung Al-dd relatif rendah (< 20%). Tanah di KP. Kayu Agung, Indralaya,
dan Prabumulih Sumatera Selatan, misalnya, mempunyai kejenuhan Al-dd
berturut-turut 11,08%, 1,01%, dan 17,26% di Jawa Barat 13,40% dan 11 dari 28
contoh tanah lapisan atas yang berasal dari Lampung Tengah juga memiliki
kejenuhanAl-dd yang rendah (Taufiq et al. 2003). Tekstur tanah Ultisol
bervariasi, berkisar dari pasiran (sandy) sampai dengan lempungan (clayey).
Fraksi lempung tanah ini umumnya didominasi oleh mineral silikat tipe 1:1 serta
oksida dan hidroksida Fe danAl, sehingga fraksi lempung tergolong beraktivitas
rendah dan daya memegang lengas juga rendah. Karena umumnya memiliki kandungan
bahan organik rendah dan fraksi lempungnya beraktivitas rendah maka kapasitas
tukar kation tanah (KTK) tanah Podsolik juga rendah, sehingga relatif kurang
kuat memegang hara tanaman dan karenanya unsur hara mudah tercuci. Tanah
Podsolik atau Ultisol termasuk tanah bermuatan terubahkan (variable charge),
sehingga nilai KTK dapat berubah bergantung nilai pH-nya, peningkatan pH akan
diikuti oleh peningkatan KTK, lebih mampu mengikat hara K dan tidak mudah
tercuci (Subandi, 2007). Di samping itu, kekahatan fosfor merupakan salah satu
kendala terpenting bagi usaha tani di lahan masam. Hal ini karena sebagian
besar koloid dan mineral tanah yang terkandung dalam tanah Ultisol mempunyai
kemampuan menyemat fosfat cukup tinggi, sehingga sebagian besar fosfat dalam
keadaan tersemat oleh Al dan Fe, tidak tersedia bagi tanaman maupun biota tanah
(Notohadiprawiro, 2006). Kendala pengembangan lahan Podzolik Merah Kuning
beriklim basah dengan topograsi bergelombang cukup kompleks. Kesalahan dalam
pengelolaan merupakan penyebab degradasi lahan yang mendasar. Di daerah tropika
basah yang topografinya bervariasi dari datar, bergelombang hingga bergunung,
erosi tanah merupakan salah satu penyebab degradasi lahan yang dominan
disamping penyebab lain seperti pencucian hara dan akumulasi unsur-unsur
beracun. Lahan kering Podzolik Merah Kuning beriklim basah didominasi oleh
tanah masam PMK dengan bahan induk yang miskin unsur hara (Partohardjono et al,
1994). Oleh karena itu lahan ini tergolong lahan marginal yang tingkat
produktivitasnya rendah. Kesuburan tanah ini secara alamiah sangat tergantung
pada lapisan atas yang kaya bahan organik tetapi bersifat labil. Kalau lahan
ini diolah untuk budidaya, kandungan bahan organik yang memadai, produktivitas
lahan cepat pula menurun dan akhirnya menjadi lahan kritis.
Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang kritis tidak mampu berproduksi secara optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997). Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani tidak memiliki cukup biaya. Mineral liat umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997).
Tanaman yang dibudidayakan pada lahan kering PMK yang kritis tidak mampu berproduksi secara optimal jika dikelola secara konvensional (Hakim et al, 1997). Sedangkan pembuatan teras dan galengan memerlukan biaya yang tinggi dan petani tidak memiliki cukup biaya. Mineral liat umumnya didominasi oleh kaolinit yang tidak banyak memberikan sumbangan terhadap kesuburan tanah serta sebagian besar tanah ini mempunyai kapasitas memegang air yang rendah dan peka terhadap erosi (Arief dan Irman, 1997).
B.
PENGELOLAAN
KESUBURAN TANAH
A. Konsep LEIA, LEISA
dan HEIA
Ada tiga
konsep untuk memperbaiki kesuburan tanah yaitu yang berwawasan lingkungan atau
berkelanjutan adalah Low External Input Agriculture (LEIA) dan Low External
Input Sustainable Agriculture (LEISA), dan pertanian moderen yang tergantung
dengan bahan kimia adalah High External Input Agriculture (HEIA).
LEIA adalah
sistem yang memanfaatkan sumberdaya lokal yang sangat intensif dengan sedikit
atau sama sekali tidak menggunakan masukan dari luar sehingga tidak terjadi
kerusakan sumberdaya alam. Pendauran hara di dalam usahatani dengan sumber-sumber
yang berasal dari luar usaha tani. Kegiatan ini berguna untuk menambahkan hara
kepada tanah dari luar usaha tani. Bahan-bahan yang digunakan: sampah, kompos,
limbah, dan lain-lain. Pendauran hara di dalam usaha tani dengan sumber-sumber
yang berasal dari usaha tani itu sendiri. Pendauran ini dapat dilewatkan dengan
ternak atau pengembalian sisa-sisa biomassa hasil panen. Cara ini tidak
menambahkan hara kepada tanah, tetapi hanya mengembalikan hara yang tidak
terangkut ke luar bersama dengan hasil panen . Pendauran hara di dalam petak
pertanaman. Kegiatan ini biasanya melibatkan tanaman legum (cover crop) untuk
memenuhi sebagian besar kebutuhan N pada tanaman pokok.
LEISA adalah
Pertanian dengan masukan rendah tetapi mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya
alam (tanah, air, tumbuhan dan hewan), manusia (tenaga, pengetahuan dan
keterampilan) yang tersedia ditempat dan layak secara ekonomis, mantap secara
ekologis, adil secara sosial dan sesuai dengan budaya lokal. Ciri-ciri sitem
ini (a) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan
mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah,
air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi
yang luar biasa,(b) berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dengan
mengkombinasikan berbagai komponen sistem usahatani (tanaman, hewan, tanah,
air, iklim dan manusia) sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi
yang luar biasa.
Prinsip
dasar LEISA adalah menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman,
khususnya dengan mengelola bahan organik dan meningkatkan kehidupan
mikroorganisme di dalam tanah (soil regenerator), mengoptimalkan ketersediaan
dan menyeimbangkan aliran unsur hara, khususnya melalui penambatan Nitrogen,
pendaur ulangan unsur hara dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap,
meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi matahari, udara dan air dengan
pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi, saling
melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumberdaya genetik yang mencakup
penggabungan dalam sistem pertanian terpadu dengan tingkat keanekaragaman
fungisonal tinggi . Beberapa aplikasi praktisnya adalah seperti di bawah ini:
a)
pemakaian pupuk organik dan anorganik
Sumber pupuk
organik dapat berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah, misalnya ;
pupuk kandang, hijauan tanaman rerumputan, semak ,perdu dan pohon, limbah
pertanaman dan limbah agroindustri. Tanah yang dibenahi dengan pupuk organik
mempunyai struktur yang baik dan sifat menahan air yang lebih besar dari pada
tanah yang kandungan bahan orgaiknya rendah.
Pada umumnya
pupuk organik mengandung hara makro yang rendah, tetapi mengandung hara mikro
yang cukup sangat diperlukan oleh tanaman, sebagai bahan pembenah tanah pupuk
organik dapat mencegah erosi, mencegah pengerakan permukaan tanah (crusting)dan
retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah . Karekteristik yang dimiliki
oleh pupuk organik adalah :
1. Kandungan
hara rendah. Kandungan hara pupuk organik pada umumnya rendah tetapi bervariasi
tergantung jenis bahan dasarnya.
2.
Ketersediaan unsur hara lambat. Hara yang berasal dari bahan organik diperlukan
untuk kegiatan mikrobia tanah untuk dirubah dari bentuk organik komplek yang
tidak dapat dimanfaatkan tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik
yang sederhana yang dapat diabsorpsi oleh tanaman.
3.
Penggunaan pupuk organik sebaiknya harus diikuti dengan pupuk anorganik yang
lebih cepat tersedia untuk menutupi kekurangan hara dari pupuk organik . Pupuk
kandang merupakan hasil samping yang cukup penting dari budidaya hewan
peliharaan baik unggas maupun non unggas, terdiri dari kotoran padat dan cair
dari hewan ternak yang bercampur sisa makanan, dapat menambah unsur hara dalam
tanah .
Pemberian
pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya unsur hara, juga dapat
memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang dapat
dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot volume, total
ruang pori, plastisitas dan daya pegang air. Kandungan unsur hara pupuk kandang
akan berbeda dengan berbedanya jenis dan wujud bahan pupuk kandang .
Pemupukan
yang dianjurkan pada budidaya tanaman jagung , untuk pupuk organik ( pupuk
kandang / kompos ) 20 ton / ha. Sedangkan untuk pupuk an organik : Urea 300 kg
/ ha, TSP 100 kg / ha, KCI 50 kg / ha. Pupuk dasar diberikan sebelum tanam atau
bersamaan tanam sejumlah 20 ton / ha pupuk organic, 100 kg / ha Urea, 100 kg
TSP, dan 50 kg / ha KCl dengan membuat larikan atau ditugalkan kemudian ditutup
kembali dengan tanah dengan jarak 10 cm dari garis tanam / lubang tanam. Pupuk
susulan diberikan 3 minggu setelah tanam berupa Urea 100 kg / ha, diteruskan
pupuk susulan kedua pada tanaman berumur 5 minggu sejumlah 100 kg Urea / ha
(Dinas Pertanian Jember,2007). Hasil penelitian Mayadewi (2007) pupuk kandang
ayam meningkatkan pertumbuhan hasil tanaman jagung manis sebesar 47,03% bila
dokombinasikan dengan jarak tanam 50 x 40 cm.
Barus (2005)
menjelaskan bahwa efisiensi penggunan pupuk dapat ditingkatkan dengan melakukan
serangkaian uji tanah untuk suatu sistem hara-tanah-tanaman. Pada dasarnya
tahapan kegiatan uji tanah meliputi ; (1) Pengambilan contoh tanah yang
mewakili lokasi berdasarkan hasil survey terdahulu, (2) Analisa kimia tanah di
laboratorium dengan metode yang tepat dan teruji, (3) Interpretasi hasil
analisis dan (4) Rekomendasi pemupukan. Hasil penelitian Hasanudin et al (2007)
menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang pada berbagai dosis mampu menurunkan
Al-dd sekaligus meningkatkan pH tanah walaupun peningkatan pH tanah tidak
sedrastis penurunan Al-dd. Peningkatan pH diikuti dengan peningkatan P tersedia
tanah .
Pemberian
bahan organik pada tanah masam dapat meningkatkan serapan P dan hasil tanaman
jagung karena setelah bahan organik terdecomposisi akan menghasilkan beberapa
unsur hara seperti N, P dan K serta menghasilkan asam humat dan fulvat yang
memegang peranan penting dalam pengikatan Fe dan Al yang larut dalam tanah
sehingga ketersediaan P akan meningkat (Hasanudin, 2003).
Seperti
halnya pupuk organik, pemakaian pupuk anorganik hanya diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan minimum hara tertentu seperti N, P, dan K, sehingga diberkan pada
takaran yang rendah. Pupuk N (urea) untuk tanaman legum diperlukan sebagi
stater sehingga diberikan pada saat tanam dengan takaran 15-20 kg/ha, sedangkan
untuk tanaman non legum takarannya lebih tinggi. Pemakaian pupuk P (P-alam)
minimal 60 kg P/ha untuk dua musim tanam, demikian pula pupuk KCl dengan
takaran 60-90 kg/ha. Takaran pupuk anorganik secara tepat perlu diteliti lebih lanjut.
Pemupukan P juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman. Fosfor berperan pada berbagai aktivitas metabolisme tanaman
dan merupakan komponen klorofil. Sebagian besar hara P dari pupuk P yang
diberikan difiksasi di dalam tanah sehingga hanya 10-20% pupuk P yang diberikan
diserap tanaman. Oleh sebab itu pemberian yang terus menerus dalam jumlah
berlebih akan terakumulasi dalam tanah dan dapat merubah status P tanah dari
rendah ke tinggi sehingga tanaman tidak lagi tanggap terhadap pemupukan P
(Barus, 2005). Pemberian pupuk P yaitu pupuk SP36 dan pupuk Rock fosfat mampu
meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung terlihat darai parameter tinggi tanaman
10 dan 17 hari setelah tanam serta kadar P trubus (Arimurti et al , 2006).
b)
pemberian pupuk hayati
Mikrobia
tanah yang menguntungkan dapat dikategorikan sebagai biofertilizer atau pupuk
hayati. Menurut Yuwono (2006) secara garis besar fungsi menguntungkan tersebut
dapat dibagi menjadi beberapa :
1. Penyedia
hara
2. Peningkat
ketersediaan hara
3.
Pengontrol organisme pengganggu tanaman
4. Pengurai
bahan organik dan pembentuk humus
5. Pemantap
agregat tanah
6. Perombak
persenyawaan agrokimia
Beberapa
mikroorganisme tanah seperti Rhizobium, Azospirillum dan Azootobacter,
Mikoriza, Bakteri pelarut fosfat, bila dimanfaatkan secara tepat dalam system
pertanian akan membawa pengaruh yang positif baik bagi ketersediaan hara yang
dibutuhkan tanaman, lingkungan edapik, maupun upaya pengendalian beberapa jenis
penyakit. Sehingga akan dapat diperoleh pertumbuhan dan produksi tanaman yang
optimal dan hasil panen yang lebih sehat. Mikroorganisme tersebut sering
disebut sebagai biofertilizer atau pupuk hayati (Sutanto, 2002).
Dari
beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri pelarut fospat dapat
meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah dan dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan pupuk P serta dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Penggunaan pupuk hayati berupa inokulan bakteri fospat dengan tanpa pemberian
pupuk TSP dapat meningkatkan hasil jagung yang setara dengan pemberian TSP
(Prihartini, 2003). Hasil penelitian Arimurti et al (2006) pada perlakuan
bakteri pelarut fosfat (BPF) mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada
tanah masam, yang tampak pada parameter tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat
basah trubus, berat kering trubus, berat basah akar, berat kering akar, luas
daun serta kadar P trubus. Pemberian BPF P. putida sama baiknya dengan P.
Aeruginosa atau gabungan keduanya dalam meningkatkan tinggi tanaman 10 dan 45
HST. Untuk meningkatkan berat basah, berat kering trubus dan akar paling baik
menggunakan P. putida. Asosiasi simbiotik anatara jamur dan sistem perakaran tanaman
tinggi diistilahkan dengan mikoriza.
Dalam
fenomena ini jamur menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa menimbulkan nekrosis
sebagaimana biasa terjadi pada infeksi jamur patogen, dan mendapat pasokan
nutrisi secara teratur dari tanaman. Asosiasi ini akan dapat meningkatan
ketersediaan hara P dan lainnya serta meningkatkan serapannya. MVA membantu
pertumbuhan tanaman dengan memperbaiki ketersediaan hara fosfor dan melindungi
perakaran dari serangan patogen (Hadiyanto dan Hairiyah, 2007).
Hasil
penelitian Hasanudin dan Gonggo (2004) menjelaskan pemberian inokulasi mikrobia
pelarut fosfat 15 ml tanaman-1 dan inokulasi mikoriza 20 g tanaman-1 dapat
meningkatkan serapan P dan hasil jagung. Rhizobium yang berasosiasi dengan
tanaman legum mampu menfiksasi 100-300 Kg N/Ha dalam satu musim tanam dan
meninggalkan sejumlah N untuk tanaman berikutnya. Permasalahan yang perlu
diperhatikan adalah efisiesnsi inokulan Rhizobium untuk tanaman tertentu.
Rhizobium mampu mencukupi 80% kebutuhan nitrogen tanaman legum dan meningkatkan
produksi antara 10-25%. Tanggapan tanaman sangat bervariasi tergantung pada
kondisi tanah dan efektifitas populasi asli (Sutanto, 2002).
Kenaikan
hasil tanaman setelah diinokulasi Azotobacter terjadi pada tanaman jagung,
cantel, padi, bawang putih, tomat, terong dan kubis. Apabila Azotobacter dan
Azospirillum diinokulasi secara bersama-sama, maka Azospirillum lebih efektif
dalam meningkatkan hasil tanaman. Azospirillum menyebabkan kenaikan hasil cukup
besar pada tanaman jagung, gandum dan cantel (Sutanto, 2002).
Selanjutnya
dijelaskan juga oleh Tim Peneliti Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
(2008) bahwa pemakaian pupuk hayati pada lahan kering masam sebaiknya yang
telah terbukti dapat menjalankan fungsi ekologis, merupakan mikroba hasil seleksi
yang benar-benar unggul dalam membantu pertumbuhan tanaman. Pupuk hayati
meliputi bakteri penambat N, mikroba pelarut fosfat, dan cendawan mikoriza
arbuskula. Bakteri penambat N2. Bakteri ini mencakup bakteri yang
membentuk bintil akar, bersimbiose dengan tanaman legum, dan bakteri penambat N
yang hidup bebas di dalam tanah. Oleh karena itu, budi daya tanaman legum
(kacang-kacangan) dapat menggunakan Rhizobium spp. Namun, perlu diperhatikan
bahwa hubungan antara tanaman legum dan Rhizobium bersifat sangat spesifik,
artinya satu spesies Rhizobium hanya dapat bersimbiose dengan spesies legum
tertentu. Oleh karena itu, penggunaan Rhizobium sp. harus disesuaikan dengan
spesies legum yang akan dibudidayakan. Bakteri penambat N yang hidup bebas
seperti Azotobacter, Azospirillum, dan Beijerinckia dapat digunakan pada
tanaman dari famili Gramineae (rumput-rumputan) seperti padi, jagung, dan
sorgum.
Pupuk hayati
lainnya adalah yang mengandung mikroba pelarut fosfat. Mikroba ini ada yang
hidup bebas di dalam tanah atau hidup di daerah perakaran (rhizobakteri).
Mikroba tersebut dapat menghasilkan senyawa organik yang dapat melarutkan
P-tanah, sehingga ketersediaan P bagi tanaman meningkat dan mengurangi takaran
penggunaan pupuk P.
Cendawan
mikoriza arbuskula (CMA). CMA merupakan suatu bentuk asosiasi cendawan dengan
akar tanaman tingkat tinggi. Kemampuan asosiasi tanaman- CMA ini memungkinkan
tanaman memperoleh hara dan air yang cukup pada kondisi lingkungan yang miskin
unsur hara dan kering, perlindungan terhadap patogen tanah maupun unsur
beracun, dan secara tidak langsung melalui perbaikan struktur tanah. Hal ini
dimungkinkan karena CMA mempunyai kemampuan menyerap hara dan air lebih tinggi
dibanding akar tanaman.
Keunggulan
kemampuan CMA dalam pengambilan hara, terutama hara yang bersifat tidak mobil
seperti P, Zn, dan Cu, disebabkan CMA memiliki struktur hifa yang mampu
menjelajah daerah di antara partikel tanah, melampaui jarak yang dapat dicapai
akar (rambut akar), kecepatan translokasi hara enam kali kecepatan rambut akar,
dan nilai ambang batas konsentrasi hara yang dapat diserap CMA lebih rendah
(setengah ambang batas konsentrasi hara yang dapat diserap akar). CMA secara
tidak langsung juga dapat meningkatkan ketersediaan P-tanah melalui produksi
enzim fosfatase oleh akartanaman. CMA juga berperan dalam membantu pemenuhan
kebutuhan air pada saat kekeringan karena bertambahnya luas permukaan
penyerapan air oleh hifa eksternal. Satu spesies CMA dapat berasosiasi dengan
berbagai tanaman sehingga satu macam CMA dapat digunakan untuk berbagai jenis
tanaman. Pada saat ini telah dihasilkan berbagai inokulan CMA,umumnya dari
spesies Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora.
HEIA adalah
merupakan sistem pertanian yang menggunakan masukan dari luar (secara
berlebihan). Umumnya berupa bahan-bahan agrokimia konvensional yang memang
disengaja dibuat untuk input produksi. Sistem ini sangat tergantung senyawa
kimia sintetis (pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh). Dapat berpengaruh buruk
pada keseimbangan lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satu contohnya adalah dengan
pengapuran. Secara ringkas pengapuran dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Salah satu kegiatan reklamasi lahan untuk memperbaiki atau memulihkan kembali
tanah –tanah yang tidak subur agar secara optimal dapat mendukung pertumbuhan
tanaman adalah dengan penambahan amelioran seperti pemberian kapur pertanian.
Secara tidak langsung kapur dapat mengurangi keracunan Al, meningkatkan
ketersediaan P, meningkatkan pH tanah dan secara langsung kapur dapat meningkatkan
ketersediaan hara Ca.
2.
Pengapuran ditekankan kepada penggunaan kapur biasa CaCO3,
seterusnya tanah masih perlu terus dipupuk. Pengapuran hendaknya dipandang
hanya untuk menetralisasikan tanah secara cepat dan seterusnya jangan
tergantung lagi pada banyaknya kapur, walaupun kualitas lahan cepat menurun
kembali. Kapur dapat menetralisir Al melalui ion OH- membentuk
Al(OH)3 tidak aktif yang dihasilkan dari pelepasan CO32-
yang selanjutnya Al menjadi tidak larut dan Al-dd semakin berkurang (Hasanudin
et al, 2007). Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk meningkatkan pH tanah
dari 4,6 menjadi 5,8 diperlukan dosis kapur 2x Al-dd.
3.
Kapur berfungsi memantapkan stabilitas tanah, tetapi daya kerjanya lebih cepat
dari pada kerja bahan organik. Kelemahannya adalah bila tanah berkualitas
rendah, yang ditandai dengan tingkat kesuburan rendah, maka dengan pengapuran
saja hanya memungkinkan pertumbuhan tanaman yang normal. Sebaliknya penggunaan
bahan organik tanpa didahului dengan pengapuran menghasilkan pemantapan
stabilitas tanah secara lambat, tetapi dampak positifnya berlangsung jangka
panjang. Oleh karena itu pengapuran pada tanah masam sebaiknya diikuti dengan
pemberian pupuk organik agar stabilitas tanah terjaga dan pertumbuhan serta
produksi tanaman akan terjamin (Kuswandi,1993).
B.
Konsep Mekanik dan Vegetatif
Pemakaian
tiga konsep di atas tadi ternyata hanya terbatas pada pengelolaan kesuburan
tanah secara kimia, sementara secara fisik sebenarnya di lahan kering ila
dihadapkan pada kondisi tanah dengan slope tertentu serta berada pada daerah
dengan intensitas hujan tinggi, maka secara teknik pengolahan tanah yang
dilakukan harus berprinsip peningkatan kesuburan tanah dan adanya pelaksanaan
konservasi tanah dan air.
Pada
prinsipnya untuk meningkatkan atau mempertahankan kemampuan tanah dapat
dilakukan teknik pengelolaan tanah secara mekanik dan vegetatif. Secara mekanik
pembuatan teras misalnya teras gulud, teras bangku atau teras individu dan
pembuatan saluran drainase. Sedangkan secara vegetatif adalah penerapan pola
tanam yang menutup permukaan tanah sepanjang tahun baik dengan hijauan maupun
vegetasi misalnya dengan pergiliran tanaman , tumpang sari atau penanaman
budidaya lorong.
Konservasi
tanah secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis dan pembuatan
bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan guna menekan erosi
dan meningkatkan kemampuan tanah mendukung usahatani secara berkelanjutan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud menurut Sinukaban
(1994):
(1)
Teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40%.
(2) Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah
(2) Pada tanah yang permeabilitasnya tinggi, guludan dapat dibuat menurut arah
kontur.
Pada tanah yang permeabilitasnya rendah, guludan dibuat miring terhadap kontur,
tidak lebih dari 1% ke arah saluran pembuangan. Hal ini ditujukan agar air yang
tidak segera terinfiltrasi ke dalam tanah dapat tersalurkan ke luar ladang
dengan kecepatan rendah. Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan cara
memotong panjang lereng dan meratakan tanah di bagian bawahnya, sehingga
terjadi deretan bangunan yang berbentuk seperti tangga.
Pada usahatani lahan
kering, fungsi utama teras bangku adalah: (1) memperlambat aliran permukaan;
(2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak
sampai merusak; (3) meningkatkan laju infiltrasi; dan (4) mempermudah
pengolahan tanah. Teras bangku dapat dibuat datar (bidang olah datar, membentuk
sudut 0o dengan bidang horizontal), miring ke dalam/goler kampak
(bidang olah miring beberapa derajat ke arah yang berlawanan dengan lereng
asli), dan miring keluar (bidang olah miring ke arah lereng asli). Teras
biasanya dibangun di ekosistem lahan sawah tadah hujan, lahan tegalan, dan
berbagai sistem wanatani. Teras individu adalah teras yang dibuat pada setiap
individu tanaman, terutama tanaman tahunan. Jenis teras ini biasa dibangun di
areal perkebunan atau pertanaman buah-buahan.
Pengelolaan tanah
secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena
memiliki sifat : (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem
perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah
dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas
mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga
memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi (Rahim, 2006).
Pergiliran tanaman
atau tanam berurutan adalah sistem bercocok tanam dengan menanam dua atau lebih
jenis tanaman pada sebidang tanah selama satu tahun; tanaman musim kedua
ditanam sebelum panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah tumpang gilir
antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang
ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung. Sistem ini bertujuan untuk
meningkatkan intensitas penggunaan lahan dan menjaga agar permukaan tanah
selalu tertutup tanaman. Selain itu, sistem ini juga dimaksudkan untuk mempercepat
penanaman tanaman pada musim kedua, sehingga masih mendapatkan air hujan dengan
jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya. Tanam bersisipan atau
tumpang sari adalah sistem penanaman lebih dari satu macam tanaman pada lahan
yang sama secara simultan, dengan umur tanaman yang relatif sama dan diatur
dalam barisan atau kumpulan barisan secara berselang-seling seperi: padi gogo +
jagung - jagung + kacang tanah. Pada musim pertama di awal musim hujan, padi
gogo ditanam secara tumpang sari dengan jagung. Menambah tanaman penguat
teras,tanaman yang memenuhi syarat sebagai penguat teras adalah:
a.
Mempunyai sistem perakaran intensif, sehingga mampu mengikat air.
b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama.
b. Tahan pangkas sehingga tidak menaungi tanaman utama.
c.
Bermanfaat dalam menyuburkan tanah maupun sebagai penghasil makanan
ternak.
Tanaman penguat teras
yang dianjurkan ditanam antara lain lamtorogung, gamal, akasia, kaliandra,
rumput gajah dan rumput benggala. Salah satu cara untuk memperbaiki struktur
tanah, mempertinggi kemampuan tanah dalam menyerap air yaitu dengan menggunakan
pupuk organik berupa pupuk hijau atau pupuk kandang serta penggunaan sisa-sisa
tanaman yang diletakkan di atas tanah sebagai serasah (mulsa) sehingga dapat
mempertahankan kelembaban tanah. Dengan cara ini penguapan air tanah dapat
diperkecil sehingga air tanah tetap tersedia bagi tumbuhnya tanaman. Teknologi
yang diintroduksikan ke lahan kering masam DAS bagian hulu haruslah teknologi
yang mampu mengendalikan erosi, mudah dilaksanakan, murah dan dapat diterima
oleh petani. Salah satu teknologi yang tersedia adalah sistem pertanaman lorong
atau Alley cropping. Anonimous (2009) menjelaskan bahwa alley cropping
merupakan salah satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim atau
tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan
atau semak (Kang et al., 1986). Tanaman pagar dipangkas secara periodik selama
pertanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan
tanaman pangan/semusim. Leucaena leucocephala yang pertama diuji dalam sistem
Alley cropping ini dan menyusul kemudian Glinsidia sepium.
Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif mengendalikan erosi. Di
Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak 69%, yang terdiri atas
48% disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8% disebabkan oleh
perubahan profil tanah dan 4% oleh penanaman secara kontur.
Di Indonesia sistem
ini sudah diyakini efektif mengendalikan erosi dapat meningkatkan produktivitas
tanah dan tanaman serta dapat diadopsi oleh petani di lahan kering. Beberapa
hasil penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa Alley cropping sangat
efektif dalam mengendalikan erosi.
Efektivitas
pengendalian erosi tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman pagar yang
digunakan, jarak antara tanaman pagar dan pada saat awal, kemiringan lahan.
Efektivitas pengendalian erosi dapat mencapai >95% dibanding apabila tidak
menggunakan Alley cropping. Alegre dan Rao (1995) menunjukkan bahwa Alley cropping
menahan kehilangan tanah 93% dan air 83% dibandingkan dengan pertanaman tunggal
semusin.
Efektivitas
pengendalian erosi ini selain karena hal yang telah disebutkan diatas juga
karena terbentuknya teras secara alami dan perlahan-lahan setinggi 25-30 cm
pada dasar tanaman pagar. Rendahnya erosi disebabkan oleh hasil pangkasan yang
sukar melapuk yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung dari air
hujan dan pemadatan tanah karena ulah pekerja selama operasi di lapangan.
Barisan tanaman pagar menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan
kesempatan pada air untuk berinfiltrasi. Selanjutnya tanaman pagar menyebabkan
air tanah selalu berkurang untuk kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau
sehingga sistem ini menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya
menurunkan erosi. Selain efektif mengendalikan erosi, Alley cropping juga
ternyata dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Sistem ini dapat
memperbaiki sifat fisik tanah yaitu menurunkan BD (bulk density) dan
meningkatkan konduktivitas hidraulik tanah.
Hasil penelitian Agas
et al. (1997) tentang sifat-sifat tanah dan air di bawah Alley cropping pada
tanah oxilos miring menunjukkan bahwa pada umumnya sifat-sifat tanah tidak
dipengaruhi oleh jenis legum/taman pagar, tetapi dipengaruhi oleh posisi dalam
lorong. Lebih dekat pada barisan tanaman pagar, mempengaruhi distribusi air.
Air tersedia pada kedalaman 10-15 cm adalah 0,16 ; 0,13 dan 0,08 m3
masing-masing pada bagin bawah, tengah dan atas dari lorong. Transmisivitas air
menurun dari 0,49 mm/detik pada bagian bawah menjadi 0,12 mm/detik pada bagian
atas dari lorong. Kandungan air tanah dan tekanan air tanah menurun pada bagian
lorong yang dekat pada tanaman pagar. Hal ini akan menyebabkan kompetisi air antara
tanaman pagar dengan tanaman pangan pada lorong. Selain perbaikan sifat fisik
tanah, penelitian-penelitian terdahulu juga memperlihatkan bahwa Alley cropping
dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Lahan kering merupakan salah satu sumberdaya lahan yang potensial, dominasi
tanah pada lahan ini adalah tanah mineral masam yang terdapat pada iklim tropik
adalah jenis tanah ultisol, oxisols dan spodosol serta inseptisol .
Karekteristik tanah mineral masam adalah pH rendah , bahan organik rendah dan
kahat unsur hara makro maupun mikro serta tingginya kandungan Al dan Fe.
2.
Pengelolaan tanah-tanah mineral masam untuk kepentingan pertanian menghadapi
kendala pH yang rendah, keracunan Al, Mn, dan/atau Fe, serta kekahatan
unsur-unsur hara penting seperti N, P, Ca, dan atau Mg dan Mo.
3.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi tanah masam guna mendukung
pertumbuhan dan produksi tanaman adalah dengan konsep LEIA, LEISA dan HEIA.
Selain ketiga konsep tersebut konsep mekanik dan vegetatif merupakan tindakan
konservasi tanah dan air .
B.
Saran
Sebagai
salah satu sumberdaya lahan yang potensial, maka sangat diperlukan berbagai
inovasi untuk mengelola lahan kering sebagai upaya konservasi, karena semakin
tingginya konversi lahan pertanian subur telah memaksa pertanian bergeser
kepada pemanfaatan lahan marginal yang salah satunya lahan kering.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Arimurti,S,
Setyati,D dan Mujib,M. 2006. Efettivitas bakteri pelarut fosfat dan pupuk P
terhadap pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays) pada tanah masam. Universitas
Jember Jurusan FMIPA .
Ø Arief,
A. Dan Irman. 1997. Ameliorasi Lahan Kering Masam untuk Tanaman Pangan.
Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan.
Balitbangtan Deptan. Hal. 1665-1675.
Ø Anonimous.2009.Budidaya
Lorong. Bebas banjir 2025.files.wordpress.com (diakses Mei 2009)
Ø Barus,J.
2005. Respon tanaman padi terhadap pemupukan P pada tingkat status hara P tanah
yang berbeda. Jurnal Akta Agrosia . 8(2): 52-55.
Ø Dinas
Pertanian Jember. 2007. Budidaya Tanaman Jagung. http://warintek.bantul.go.id
(diakses 8 April 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar