MAKALAH
PELAKSANAAN
ADAT KARIA DAN
PELAKSANAAN
KEGIATAN KARIA
OLEH :
NAMA : MUH. RIZAL S.A.G
KELAS : X-5
SMA NEGERI 1 RAHA
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai
macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut
kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu
bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya.
Tidak
bisa kita pungkiri, bahwa kita pungkiri bahwa kebudayaan daerah merupakan
faktor utama berdirinya kebudayaan yang lebih global, yang biasa kita sebut
dengan kebudayaan nasional. Maka atas dasar itulah segala bentuk kebudayaan
daerah akan sangat berpengaruk terhadap budaya nasional, begitu pula sebaliknya
kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah, akan sangat
berpebgaruh pula terhadap kebudayaan daerah / kebudayaan lokal.
Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Kebudayaan merupakan suatau kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah.
Karena
kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga,
memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu,
dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan
dilestarikan oleh setiap suku bangsa.
B.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui
Proses awal upacara karia
2.
Untuk dapat
mengetahui kebudayaan masyarakat Muna agar tetap dilestarikan
C.
RUMUSAN
MASALAH
D.
Bagaimana Proses awal upacara karia
E.
Bagaimana kebudayaan masyarakat Muna agar tetap
dilestarikan
BAB
II
PEMBAHASAN
Ø
Adat kariya (Pingitan) sebagai tutura masyarakat Muna
Nilai-nilai
budaya suatu bangsa merupakan khasanah kekayaan bangsa atau daerah. Indonesia
sebagai bangsa besar yang memiliki potensi keanekaragaman budaya. Perbedaan ini
bukan sebagai alasan untuk perpecahan, tetapi sebaliknya perbedaan itu menjadi
perekat bagi komunitas masyarakat yang berbeda.
Keutuhan
budaya suatu bangsa atau suatu daerah tergantung pada kemampuan masyarakat
untuk mempertahankan dan melestarikannya. Ditinjau dari aspek potensi budaya
bisa dapat bertahan dan berkembang ditentukan oleh kekenyalan nilai-nilai
budaya tersebut.
Proses
terpenting dari perkembangan budaya dalam dengan dunia pendidikan bahwa lembaga
pendidikan baik sebagai sarana transformasi ilmu maupun sebagai penyelenggara
pendidikan memiliki tanggung jawab yang luas dan komprehensif. Tangtu tidak
semugung jawab itu tidak semudah membalikkan telapak tangan tetapi memerlukan
proses panjang, mulai dari pengenalan, pemahaman, pengembangan sampai pada
proses pewarisnya.
Budaya muna
sebagai obyek yang dibahas menjadi lemah apabila proses pewarisnya hanya
dilakukan melalui penuturan cerita, pendengaran dan pandangan mata. Gagasan
penulisan budaya kiranya merupakan langkah positif yang harus tetap berlanjut
sehingga ketika berbicara budaya muna tidak hanya sebatas cerita tetapi dapat
dibaca dalam dokumen.
Cirri khas
budaya lokal yang bersifat kedaerahan memiliki keunikan-keunikan khusus yang
mencerminkan karakteristik masyarakat penduduknya. Keunikan itu dapat dianalisa
dalam berbagai sudut pandang yang berbeda-beda dan sangat tergantung pada obyek
sudut pandang masing-masing. Upacara adat kariya (pingitan) misalnya, tidak
hanya terbatas pada proses dan konsep urutan-urutan pelaksanaannya tetapi dalam
memahami upacara adat tersebut kariya (pingitan) harus mendalami pemaknaan
setiap sesi kegiatan dan symbol berdasarkan pendekatan filosofi, agama,
kemasyarakatan dan konsep adat secara harfiah. Salah satu upaya untuk
mengantisipasi gejala degradasi nilai-nilai budaya adalah merekontruksi
nilai-nilai budaya dalam bentuk tulisan untuk dipedomani generasi muda secara
berkesinambungan. Realitas dari keprihatinan dan keberpihakandari segelintir
masyarakat terhadap kelestarian nilai-nilai budaya adalah munculnya kiat untuk
mendokumenkan dalam bentuk tulisan “deskrepsi pelaksanaan upacara adat kariya”
di Muna proses ini pun tidak menjadi jaminan untuk langgengnya suatu budaya,
tapi hanya menjadai sebagian indikator, dan yang terpenting and alah sbb :
1.
Kesadaran pendukung kebudayaan tersebut yang memiliki
kecenderungan dan proaktif terhadap pemeliharaan nillai-nilai budaya yang ada.
2.
Pengambil kebijakan khususnya yang berkompeten dalam bidang
itu berupaya merekontruksi nilai-nilai budaya dalam bentuk aksi melalui
festival, carnaval, dan ekspos budaya
3.
Tokoh-tokoh masyarakat yang senantiasa bersifat terbuka
untuk member informasi demi kebutuhan penelitian dan ilmu pengetahuan.
4.
Kemauan dan kemampuan generasi muda untuk menggali informasi
tentang filosofi budaya secara detail.
Warisan
budaya masa lampau bukan sesuatu yang mutlak mempertahankan karena itu evaluasi
dan kritik yang berpijak pada sistem berpikir rasional dan disesuaikan dengan
kaida ilmiah. Dengan demikian, nilai-nilai budaya tradisional dapat dikaji dan
berkembang untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Rekonstruksi
kebudayaan masa lampau adalah merupakan tanggug jawab semua pihak. Lahirnya
pemikiran untuk mendokumenkan upacara adat karya (pingitan) dalam sebuah
tulisan adalah suatu gagasan yang harus dikembangkan dan dipertahankan untuk
menjaga kelestarian nilai-nilai budaya.
Ø Upacara Adat Karya
Ditinjau Dari Filosofi Adat dan Agama
Kariya
adalah upacara adat bagi masyarakat muna yang pertama diadakan pada masa
pemerintahan Raja La ode Husein yang bergelar omputo sangia terhadap putrinya
yang bernama Wa ode Kamomo Kamba. Menurut kaida bahasa muna kariya berasal dari
kata kari” yang artinya : (1) sikat atau pembersih; (2) penuh atau sesak
misalnya mengisi sebuah keranjang dengan suatu benda atau barang sampai penuh sehingga
dalam bahasa muna disebut nokari (sesak). Pemaknaan dari simbolis nokari atau
penuh bahwa perempuan yang di kariya telah penuh pemahamannya terhadap materi
yang disampaikan oleh pemangku adat atau tokoh agama, khususnya yang berkaitan
dengan seluik beluk kehidupan ber rumah tangga. Sedangkan makna secara konkrit
bahwa kata kariya (Muna) berarti rebut atau keributan adalah ramai atau
keramaian. Dalam acara kariya dimana sang gadis (kalambe) selama empat hari
empat malam ditempatkan dalam sebuah tempat tertutup (songi atau sua). Untuk
menghilanhkan rasa steres para gadis (kalambe) dalam tempa tersebut maka
diselingi dengan acara-acara lain yaitu : rambi wuna, rambi padangga (rambi
bajo), mangaro yaitu acara sandiwara perkelahian. Selama para gadis (kalambe)
dalam songi acara rambi wuna, rambi padangga, dan mangaro senantiasa
didemonstrasikan oleh orang –orang / golongan yang telah dilih dan ditetapkan
secara adat.
Harfia dari
kari (keributan atau keramaian) benar adanya, karena pandangan mata dan pendengaran
selama proseksi pelaksanaan kariya 4 hari 4 malam senantiasa dirayakan dengan
acara pukul gong (rambi) dan mangaro. Ini disimbolkan bahwa jenis rambi (pukul
gong) seperti bersifat ajakan bagi setiap orang yang mendengarnya untuk hadir
di tempat (lokasi) pelaksanaan upacara agar suasana senantiasa ramai dan semua
orang ikut berkumpul yang kemudian ditetapkan secara adat untuk melakukan
demonstrasi rambi (pukul gong) padangga adalah merupakan cirri khas yang dapat
member isyarat kepada semua orang yang menyaksikan upacara tersebut sebagai
suasana kekerabatan sehingga walaupun orang jauh dating beramai-ramai di tempat
itu.
Proses ini
dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati dengan
ritual kariya maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki.
Kepercayaan masyarakat muna bahwa upacara ritual kariya menjadi kewajiban bagi
setiapa orang tua yang memiliki anak perempuan, karena itu proses pembersihan
diri melalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Dalam kaitannya
dengan konsepsi keagamaan bahwa kariya merupakan proses yang berkepanjangan
yang diawali dengan kangkilo (sunat), katoba (pengislaman), hingga sampai pada
pelaksanaan upacara kariya.
Ø Kariya Sebagai
Tutura
Kata tutura
dalam bahasa muna adalah derifasi morfem”tura” yang artinya awal, cerah, tetapi
setelah mendapat prefiks tu artinya pengawalan, pencerahan. Tutura adalah
rangkaian upacara ritual agar manusia mencapai insanu kamil. Ritual kariya
menjadi simbol proses kejadian manusia dari setetes darah hingga menjadi
manusia sempurna sedangkan tutura kariya pada awalnya dilaksanakan selama 40
hari. Dalam kaitan dengan kejadian manusia 9 bulan 10 hari berada dalam
kandungan adalah merupakan pengejewantahan dari proses 7 tahapan dikalikan
lamanya tutura kariya 40 hari hasilnya 280 hari dan kemudian dibagi 30 hari (1
bulan) sama dengan 90 bulan 10 hari.
Tetapi kemudian pelaksanaan tutura kariya hanya dilaksanakan 4 hari adalah
sebagai kias dari 10 hari sedangkan 7 adalah tahapan- tahapan pelaksanaan
kariya dari awal hingga selesai (Laode Sirat Imbo, Juni 2007).
Upacara
kariya dianggap sebagai pengasah fitrah karena harapan dari proses pelaksanaan
kariya adalah untuk mencapai kesucian kembali sebgaiman awalnya dilahirkan
dimuka bumi. Oleh karena itu mengawali acara kariya peserta terlebih dahulu
memandikan bertujuan untuk mencapai kesucian sehingga perangai diasah
senantiasa cerah dan tetap terjaga fitrahnya.
Ø Kariya Sebagai
Media Pendidikan
Berdasarkan
teori media pendidikan ada dua metode yang dianggap efektif yaitu (1) character
building (2) titilasi, mnelalui character building manusia digembleng watak dan
mentalnya sehingga muncul rasa percaya diri yang kokoh, sedangkan melalui
titilasi adalah pembinaaan minat agar bangkit gairah untuk mengetahui dirinya
sendiri. Dalam kaitannya dengan kariya adalah proses pendidikasn pada kaum
perempuan untuk dibina watak, karakter serta pemahaman akan dirinya.
Implementasi character building dalam acara kariya atau pungitan dapat teramati
pada proses, makan, minum dan jam tidur ditakar karena merupakan pembinaan
hidup dalam kesederhanaan. Pada dasarnya indivudu perempuan terdapat potensi
sifat loba, yaitu sifat umum perempuan yang harus dibina dan dikelola secara
edukatif agar kelak menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan warahma. Sedangkan
iringan tarian , nyanyian, pantun, dan gong adalah isyarat pembinaan gairah
untuk melahirkan kepercayaan diri. Tutura kariya dikatakan sebagai proses
pendidikan, karena dalam proses pelaksanaannya tidak hanya sekedar dipingit
dalam tempat gelap (songi), tetapi didalam songi dilakukan proses pengisian
dengan berbagai ilmu dan pengetahuan.
Pembinaan
itu dilakukan oleh seseorang yang diutus oleh keluarga baik dalam dari kalangan
tokoh adat maupun tokoh agama. Proses terpenting dalam pelaksanaan kariya
adalah merupakan pembentukan diri untuk melawan musu yang terberat pada diri
sendiri yaitu hawa nafsu.
Ø Kariya Selaku
Proses Kelahiran Kembali
Sejarah
pemikiran manusia adalah proses pengenalan diri sendiri beserta alam semesta,
sehingga melahirkan berbagai kebudayaan dan peradaban. Dalam tutura kariya
disebut “ kanghombo” ruang pingitan dalam bahasam muna disebut songi atau suo
yaitu kamar dalam istana/ kamali. Tempat ini disimbolkan rahim (uterus ibu),
oleh karena itu songi dikemas dengan kelambu, diberi langit-langit dan
lantainya dilapisi dengan kain semua berwarna putih tanpa penerangan lampu.
Pangangan
agama tentang proses kalahiran kembali, adalah perubahan pada setiap insan
manusia yang telah melewati proses tertentu, misalnya dalam bulan suci ramadhan
setelah melakukan puasa 1 bulan lamanya maka pada tanggal 1 syawal dinyatakan
lahir kembali, karena mencapai peringkat fitra atau bagaikan bayi baru lahir.
Kaitan dengan pelaksanaan tutura kariya / pinmgitan dianggap sebagai proses
kelahiran kembali, karena setelah keluar dari songi dengan melewati proses
pergantian 4 alamnya itunya alam arwah hingga pada alam isnani yang dikemas
dengan berbagai pembinaan akhlah dan aqidah. Pada acara kabhalengka merupakan
proses kelahiran kembali dari seorang perempuan yang telah disyarati dengan
tutura kariya / pingitan.
Ø kariya sebagai
upacara peresmian atau pelantikan
Upacara
ritual kariya yang dikemas dalam bentuk simbolik proses kejadian manusia dari
satu tahapan kehidupan ketahapan berikutnya, dikenal dengan kronologi insiasi.
Upacara insiasi dalam kariya dinamai kalempagi dalam bahasa muna kata itu
adalah derivasi dari morfem lempa yang artinya lawak atau lewat dibumbuhi
prefiks”ka” dan sufiks” sehingga menjadi kalempagi yang artinya perlawatan atau
perlewatan. Usia remaja adalah tahapan yang amat rentan terhadap pengaruh
negaif baik lingkungan maupun pergaulan. Oleh sebab itu diusia remajalah
upacara kariya dilaksanakan. Kalempagi, berarti pelewatan usia remaja dan
perlawatan keusia dewasa (Laode Sirat Imbo, Juni 2007). Upacara kalempagi
adalah peresmian (pelantikan) perlawatan itu ditandai dengan katandano wite
atau penyentuhan tanah.
Indikator
lain menguatkan bahwa kariya sebagai upacara peresmian atau pelantikan,
ditandai dengan model pakaian yang dikenakan oleh peserta kariya. Pada bagian
kepala disematkan panto (mahkota) bagaikan putri ratu yang telah di lantik sebagai raja
disebuah kerajaan. Oleh karena itu cirri khas pakaian perempuan yang dikariya
menunjukkan cirri khas pakaian kebesaran sesuai dengan golongan sosialnya
masing-masing, misalnya kaomu, walaka, dan maradhika.
Ø Pelaksanaan Kariya
Kariya
adalah salah satu bentuk kebudayaan masyarakat muna yang tetap dilestarikan
sampai saat ini, dan bagi para gadis di tuntut untuk mengikuti pelaksanaan
upacara Kariya. Dimana upacara Kariya merupakan evaluasi dari seluruh pakaian
rohani bagi seorang perempuan karena setelah upacara Kariya maka wanita telah
dianggap telah bersih dam mapan. Setelah proses Kariya selesai maka anak
perempuan yang telah disyarati dengan Kariya telah memahami seluk beluk kehidupan
dunia khususnya yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga. Upacara Kariya
dikhususkan bagi wanita menjelang dewasa yang berusia dari 20 tahun ke atas.
Proses upacara ini juga diwarnai oleh konsepsi ajaran agama islam, karena baik
proses maupun meteri yang disampaikan kepada wanita adalah mengenai bekal
persiapan untuk menghadapi kehidupan rumah tangga ketika memasuki perkawinan.
Upacara Kariya dilaksanakan selama 4x24 jam (4 hari berturut-turut) tergatung
pada kemampuan biaya penyelenggara. Kadang-kadang juga hanya dilaksanakan
selama 2 hari dan atau 1 hari. Dalam prosesi adat Kariya dapat ditampilkan pula
salah satu tarian tradisional daerah Muna yaitu tari Linda.
Tari
Linda menjadi rangkaian dari pelaksanaan upacara adat Kariya karena pada proses
pelaksanaan tari Linda harus melewati lima tahapan. Dalam tahapan tersebut
dianalogikan sebagai proses pembinaan perempuan menjelang dewasa dengan
melewati empat alam seperti pada proses kejadian manusia sampai dilahirkan di
muka bumi yakni, alam arwah yaitu roh masuk bersifat rahasia dimana hanya tuhan
yang mengetahui, setelah roh masuk terjadilah alam misal yaitu roh sudah berada
di sekitar manusia dalam kandungan. Selama roh berada dalam kandungan ada yang dimanakan
alam aj’sam yaitu roh sudah dititipkan kepada manusia sehingga manusia lahir
dalam kandungan, dan alam insani yaitu manusia telah lahir dan berada di muka
bumi yang fana. Dengan demikian, peserta Kariya melakukan proses kafoluku yaitu peserta dimasukan dalam
tempat khusus yang disebut songi.
Sehari semalam setelah proses kafoluku
dilanjuntkan dengan kabhansule yaitu
perubahan posisi para peserta Kariya.
Pada malam keempat setelah melaksanakan proses kabhansule dilakukan proses debhalengka
yaitu membuka pintu kaghombo peserta Kariya. Setelah itu diadakan proses kafosampu (perpindahan perserta Kariya dari rumah ke panggung)
perpindahan peserta Kariya dilakukan
pada saat hari yang ditentukan yaitu hari ke empat menjelang magrib bahwa para
gadis Kariya siap di keluarkan dari
rumah atau ruang songi ketempat yang
disebut bhawono koruma (panggung).
Pada saat peserta Kariya sudah sampai
ditempat atau panggung, dilakukan katandano
wite yaitu sentuhan tanah pada dahi, ubun-ubun dilanjutkan pada bagian
bawah telinga, bahu, siku, telapak tangan, pinggul, lutut, dan diakhiri telapak
kaki. Setelah proses katandano wite selesai maka peserta
Kariya melaksanakan tari Linda.
Disinilah para peserta Kariya dapat
manarikan tarian Linda. Pada acara
tari Linda yakni acara yang
ditunggu-tunggu para penonton, undangan yang hadir serta peserta Kariya sendiri
karena setiap para peserta dalam menarikan tarian Linda diberikan amplop yang
berisi uang atau bingkisan sesuai kerelaaan masing-masing para undangan, tamu
atau penonton hal ini sebagai symbol syukuran atau kegembiraan pada peserta Kariya karena telah melalui segala
cobaan yang ditempuh selama dalam kaghombo.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kariya
adalah salah satu bentuk kebudayaan masyarakat muna yang tetap dilestarikan
sampai saat ini, dan bagi para gadis di tuntut untuk mengikuti pelaksanaan
upacara Kariya. Dimana upacara Kariya merupakan evaluasi dari seluruh pakaian
rohani bagi seorang perempuan karena setelah upacara Kariya maka wanita telah
dianggap telah bersih dam mapan. Setelah proses Kariya selesai maka anak
perempuan yang telah disyarati dengan Kariya telah memahami seluk beluk kehidupan
dunia khususnya yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga. Upacara Kariya
dikhususkan bagi wanita menjelang dewasa yang berusia dari 20 tahun ke atas.
Proses upacara ini juga diwarnai oleh konsepsi ajaran agama islam, karena baik
proses maupun meteri yang disampaikan kepada wanita adalah mengenai bekal
persiapan untuk menghadapi kehidupan rumah tangga ketika memasuki perkawinan.
Upacara Kariya dilaksanakan selama 4x24 jam (4 hari berturut-turut) tergatung
pada kemampuan biaya penyelenggara. Kadang-kadang juga hanya dilaksanakan
selama 2 hari dan atau 1 hari. Dalam prosesi adat Kariya dapat ditampilkan pula
salah satu tarian tradisional daerah Muna yaitu tari Linda.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abaslahontohe.blogspot.co.id/2013/03/2013/kebudayaan-muna-kariapingitan.html?m=1
Ø Galaxyirit.blogspot.co.id/2012/06/tradisi-adat-karia.khas
kalambhe-wuna.html/m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar