do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none;

Kamis, 31 Oktober 2013

Jadi Entrepreneur Perlu Komitmen Total

Seorang karyawan yang sudah mapan bekerja, sering kali terganggu dengan pikiran untuk membuka usaha sendiri. Namun, sering kali pula mereka tidak yakin dengan waktu, kapan saat yang tepat memulai bisnis?

Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat bergantung pada situasi si karyawan dan jenis bisnis yang akan dijalankan. Namun, sebagian orang akhirnya mengambil keputusan untuk memulai bisnis sebagai pekerjaan sambilan. Mereka lakukan di sela-sela waktu rutin bekerja atau akhir pekan. Sebagian lagi justru memilih berhenti dari pekerjaan dan mulai berbisnis secara penuh. Alasannya, mereka tidak ingin dikacaukan dengan pekerjaan.

Di samping itu, mereka perlu menunjukkan komitmen terhadap konsep bisnis yang ingin mereka bangun. Pandangan-pandangan tersebut pun diakui sejumlah pakar bisnis. Sebagian pakar menilai seorang karyawan bisa berwirausaha secara paruh waktu untuk awalnya. Kemudian secara perlahan, mereka menetapkan komitmen untuk menjalankannya secara penuh. Namun, sebagian pakar lainnya justru menekankan agar karyawan yang ingin berwirausaha harus menunjukkan komitmen yang kuat sejak awal.

Kendati begitu, Therese Prentice, seorang konsultan bisnis asal New York, mencoba jalan tengah terhadap dua pandangan tersebut. Menurut dia, calon pengusaha tidak harus meninggalkan pekerjaan sampai mereka membuktikan ide-ide bisnis berjalan dengan baik. Prentice menyarankan seorang karyawan jangan meninggalkan pekerjaannya meski berniat mendirikan usaha, walaupun si karyawan memiliki cukup modal. Anda harus menguji segala sesuatunya. Anda bisa punya ruang untuk merencanakan, melakukan, dan mengkaji bisnis meski masih menjadi karyawan sebuah perusahaan, ujarnya seperti dilansir The Saturday Post.

Seorang calon pengusaha harus menunggu sampai usaha barunya meraih pendapatan sekitar dua pertiga dari pendapatan mereka menjadi karyawan. Setelah itu, mereka bisa mengambil keputusan untuk berhenti bekerja. Sebaliknya, Patrick K FitzGerald, seorang pengajar entrepreneur di Universitas Pennsylvania, tidak setuju dengan pendapat Prentice. Menurut dia, seorang calon pengusaha jangan bermain di dua kaki. Satu di perusahaan tempat dia bekerja, sementara kaki yang lain di dunia usaha yang dia jalankan.

Orang akan menilai konsep bisnis semacam itu setengah matang. FitzGerald, yang juga salah satu pendiri Recyclebank di Philadelphia, meyakini entrepreneurship adalah sebuah pilihan yang berkaitan dengan konsumen dan itu sangat tidak mungkin dilakukan setengah hati dalam paruh waktu. Tidak ada istilah bertaruh dalam menjalankan wirausaha. Semua harus dijalankan secara total, tegas Fitz Gerald. 

Hal senada disampaikan Phillip Moorcroft, seorang konsultan bisnis di Moorcroft Group Professional Services (MGPS) di Toronto, Kanada. Menurut dia, berniat menjadi wirausaha secara paruh waktu sangat krusial bisa mengurangi psikologis binis dan keuangan.

Hal ini akan menjadi satu kendala untuk berhasil. Ada orang yang berniat wirausaha, tetapi memiliki rencana lain. Misalnya dia mencoba selama enam bulan, kalau gagal dia akan bekerja pada orang lain. Cara itu tidak bisa diterapkan, ujarnya. 

Beberapa contoh kasus pengusaha sukses karena berkomitmen secara total dilakoni dua saudara, Shep dan Ian Murray. Dua bersaudara ini awalnya hanya karyawan biasa di Manhattan. Keduanya merasa frustrasi dengan pekerjaan yang hanya berkutat di belakang meja.

Shep sebelumnya bekerja sebagai account executive di sebuah perusahaan periklanan, sementara Ian bekerja di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang hubungan masyarakat. Pada 1998, keduanya memutuskan untuk keluar kerja,hanya berselang 10 menit setelah salah satunya mengajukan pengunduran diri. Mereka selanjutnya mengambil uang tunai dari kartu kredit untuk mulai mendirikan Vineyard Vines, sebuah industri dasi rumahan. Ide mereka mengambil uang tunai dari kartu kredit sempat dicemooh dan dinilai bodoh.

Pada awalnya, mereka menjual dasi-dasi itu di tas ransel, di pantai, di kapal, dan di bar. Mereka menjual habis 800 dasi dalam pekan pertama. Karena keduanya berkomitmen secara total, akhirnya bisa sukses dan memiliki kantor sendiri. Saat ini ada 18 toko ritel Vineyard Vines di seluruh Amerika, dan jaringannya dapat ditemukan di hampir 500 toko. Vineyard Vines mampu mencetak penjualan hingga USD100 juta pada 2011.

Berbagai kisah sukses itu membuktikan bahwa untuk mengambil keputusan berhenti dari pekerjaan tidak ada kata lain selain berkomitmen total. Pasalnya, wirausaha adalah terkait keputusan melakukan atau bangkrut. (*/Harian Seputar Indonesia)

Tidak ada komentar: