Sukses Michael Dell membesarkan perusahaan dari nol sudah jadi
pengetahuan umum. Tetapi, apa kiat jebolan University of Texas ini
memacu Dell Computer yang telah meraksasa selama dua dasawarsa lebih
untuk terus tumbuh cepat.
Pada musim gugur 2001, Michael Dell
mengadakan pertemuan empat mata dengan Kevin B. Rollins, President dan
CEO Dell Inc. Kedua eksekutif puncak ini yakin bahwa kinerja perusahaan
tak bakal terguncang oleh resesi yang menumbangkan banyak kampiun
industri teknologi. Tetapi, mereka mafhum, ada sesuatu yang salah dan
itu justru menyangkut diri mereka sebagai bos tertinggi.
Bagaimana
tidak. Hasil survei pada musim panas sebelumnya, sesaat setelah
pemangkasan pegawai yang PHK pertama dalam sejarah perusahaan,
menunjukkan bahwa separuh SDM yang ada akan hengkang begitu dapat
kesempatan. Wawancara internal yang dilakukan mendapati bahwa para
bawahan di Dell memandang Michael sang pendiri sebagai orang yang
impersonal, tak punya kedekatan emosional. Sementara itu, Rollins
dinilai kelewat otokratik dan antagonistik. Pendek kata, cuma sedikit
yang merasa punya loyalitas kuat kepada pemimpin perusahaan tersebut.
Di
perusahaan besar lain, para bos besar mungkin cuma angkat bahu lalu
cuek. Tetapi, di Dell tidak begitu. Dan inilah yang mengibarkan Dell
Inc.
Tak mau orang terbaiknya melakukan eksodus, dalam bilangan
minggu Dell mengumpulkan 20 manajer puncak. Di depan mereka, dengan arif
bos berusia 39 tahun ini menyampaikan kritik terhadap dirinya sendiri.
Dell mengaku terus terang bahwa ia itu sangat pemalu sehingga kadang
terkesan sombong dan tak bisa didekati. Ia berjanji akan berupaya
membangun hubungan yang lebih erat dengan tim manajemen.
Beberapa
orang yang berada di ruang rapat itu terkejut. Memang, mereka tahu dari
hasil tes kepribadian terhadap beberapa eksekutif kunci bahwa Dell
sosok yang introvert. Yang menjadi kejutan adalah Dell yang juga sebagai
pemilik saham mayoritas dan punya kekuasaan besar itu tak segan
mengakui keadaannya.
Hebatnya lagi, Dell tak berhenti dengan
pengakuan di ruang tertutup itu. Dalam bilangan hari, video tape berisi
pengakuan tadi diedarkan setiap manajer di seluruh bagian perusahaan
yang jumlahnya mencapai ribuan. Lalu Dell dan Rollins menaruh semacam
penanda di meja kerjanya untuk membantu mengingatkan mereka agar
melakukan sesuatu yang tak biasa dilakukan secara alami.
Di meja
Dell, misalnya, ditaruh buldoser kecil dari plastik buat mengingatkan
agar ia tak meluncurkan ide tanpa melibatkan orang lain. Rollins
meletakkan boneka Curious George agar ia tak lupa mendengar dulu
pendapat timnya sebelum menetapkan sesuatu.
Buat orang lain, cara
Dell menangani semangat anak buahnya yang merosot itu mungkin cuma
semacam manajemen untuk membuat semua merasa bahagia. Tetapi, bagi orang
dalam, itu adalah puncak dari rangkaian panjang upaya keras yang
membawa Dell Inc. dari perusahaan tanpa nama menjadi pemilik merek yang
perkasa.
Memang, Dell jago dalam penjualan langsung. Telah
mempraktikkan sistem yang tak memerlukan pedagang perantara sejak masih
di asrama University of Texas pada usia 19. Tak ada pula yang bisa
membantah Dell muda mampu mengembangkan model bisnisnya menjadi mesin
bisnis superefisien.
Kendati demikian, pasti ada rahasia selain
yang bersifat teknis yang membuat Dell demikian sukses. Dalam dirinya
yang pemalu itu, Dell punya kredo yang ia pegang teguh: Status quo is
never good enough, bahkan kalau itu berarti perubahan yang menyakitkan
buat dirinya sendiri, yang namanya terabadikan dalam nama perusahaan. Di
Dell Inc., sukses hanya mendapatkan pujian lima detik dan disusul
otopsi selama lima jam untuk mencari apa yang harusnya bisa dilakukan
buat memberikan hasil yang lebih bagus.
Ujar Dell selalu,
"Celebrate for nanoseconds. Then move on." Dalam kenyataan sehari-hari,
kebiasaan seperti ini ditanamkan betul. Ambil contoh ketika membuka
pabrik pertama Dell di Asia. (*/ dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar