Selama kita merasa belum terbiasa dan takut memulai bisnis, biasanya
yang timbul di pikiran kita adalah: belajar!. Pilihannya mungkin dengan
jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut
sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan.
Atau bisa juga dengan
berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis. Kira-kira, sudah
selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada
kenyataannya? Mari kita telaah.
Kebanyakan dari kita berbisnis
karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa
enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau
Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah
orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis
yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi.
Maka tidak heran
jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang
ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer
nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin
menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa:
Leaders are made, not born.
Selanjutnya,
segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut,
dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat
teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas
dalam materi-materi ilmu bisnis, wacana profesionalisme, ilmu
kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.
Orang-orang awam
memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk
secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal
diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.
Namun
demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih
spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat
dengan teori-teori kesuksesan seperti itu?
Dari berbagai catatan
yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan
oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan
mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis,
profesionalisme dan teori kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi,
teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain
sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan
atau lokakarya tentang strategi bisnis.
Di lain pihak, banyak
pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka
belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro
ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?
Ada beberapa contoh
kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak
di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai
tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada
penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang
dilakukannya.
Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya
Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia
adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti
Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison
Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan
beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat
listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai
sekarang adalah General Electric.
Apakah untuk mencapai itu semua
Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan
tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh
para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom?
Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3
minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan
kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.
Contoh
lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka
bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2
SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan
perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan
perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa
tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan
video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.
Fenomena-fenomena
yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi
kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada
sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah
ilmu pengetahuan.
Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen
(bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji
Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat,
karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.
Menurut
saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan
pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses,
untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis)
adalah fenomena manusia, yang tidak sama dengan fenomena alam. Kalau
Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena
alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja.
Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap
abadi.
Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan
menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan,
sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi
sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa
jatuhnya buah apel.
Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis,
adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa
memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita
ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.
Coba
lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang
berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat
mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah
royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja
layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.
Lihat
juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha
(juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar
negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya
masuk ke pasar-pasar keras seperti Iran, Sudan dan Rusia serta
negara-negara blok timur.
Belajar dari orang lain itu penting
Kesia-siaan
mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis
bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard
Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan
Marketing Mix 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua
pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep ini secara fanatik. Begitu
juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.
Tapi,
tidak terlalu lama, sebagai akibat ulah para pemimpin bisnis yang gemar
bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para
pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang
terakhir disebutkan sebagai 12P.
Terus bagaimana? Kalau kita harus
bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan
ilmu marketing, kapan kita berbisnis?
Saya rasa kita semua banyak
yang terjebak dan hanyut dalam arus ilmu pengetahuan yang dibuat oleh
mereka yang pakar ilmu pengetahuan, sehingga kita tidak sempat lagi
berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus
menerus dipaksa mengejar ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana
ujung pangkalnya.
Pertanyaannya: Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?
Kita
sendiri harus yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam
permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam
tulisannya The Art Of The Leader : Success is acquired by playing hard,
not by working hard...
Mengacu pada obsesi banyak orang tentang
Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui
bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya
bermain-main.
Terakhir yang perlu disampaikan adalah, orang yang
mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang
yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga,
orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis. Tapi,
orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar